URGENSI PENETAPAN BATAS MAKSIMUM TANAH PERTANIAN
DI INDONESIA
Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia.
Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan
sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Perombakan atau
pembaruan struktur keagrariaan terutama tanah dilakukan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat terutama rakyat tani yang semula tidak memiliki lahan
olahan/garapan untuk memiliki tanah. Oleh Parlindungan (1980:27) dikatakan
bahwa negara yang ingin maju harus mengadakan land reform.
Hampir semua negara di dunia pernah melakukan reforma
agraria. Tonggak pertama reforma agraria dimulai dari Yunani Kuno, Romawi Kuno,
Inggris, Perancis, hingga Rusia. Pada masa itu kaum bangsawan dengan fasilitas
yang dimilikinya pada umumnya menguasai lahan-lahan pertanian yang luas. Untuk
mencegah pemberontakan rakyat terutama petani-petani yang tidak mempunyai lahan
atau mempunyai lahan tetapi sempit maka Kaisar mengeluarkan titah tentang
pembagian kembali lahan-lahan pertanian kepada petani . Dilaksanakannya
Konferensi Dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World
Conference on Agrarian Reform and Rural Developent) yang diselenggrakanan oleh
FAO (Food and Agriculture Organisation) PBB di Roma pada bulan Juli 1979
merupakan tonggak yang penting dalam sejarah perjuangan yang panjang untuk
melawan kemiskinan dan kelaparan. Konferensi ini berhasil merumuskan Deklarasi
Prinsip-prinsip dan Program Kegiatan (Declaration of Principles and Programme
of Action) yang dikenal dengan Piagam Petani (The Peasants’ Charter).
Indonesia merupakan salah satu peserta dari konferensi dunia
itu melakukan pembaruan di bidang keagrariaan pada periode 1960-an sebagai
perwujudan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dengan dikeluarkannya Undang-Undang
No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA)
pada tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya diikuti dengan dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tentang
Luas batas maksimum dan minimum pemilikan tanah , pada tanggal 24 Desember
1960.
Pertanyaan sekarang adalah sejauhmanakah urgensi pembatasan
luas batas maksimum dan minimum kepemilikan tanah dalam upaya pencegahan dan
penyelesaian konflik pertanahan di Indonesia?
1. Pengertian dan Dasar Hukum Landreform
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).
Land Reform diartikan dengan perubahan struktur penguasaan pemilikan tanah. Oleh A.P. Parlindungan dikatakan istilah land reform bukan hanya dalam pengertian politik belaka tapi juga pengertian teknis. Land reform di Negara-negara komunis merupakan slogan untuk memenangkan massa rakyat, karena issue tanah, pemilikan tanah, distribusi tanah, hancurkan tuan tanah adalah issue emosional yang sangat menarik, sehingga banyak sarjana maupun FAO (Food and Agricultural Organization) mempergunakan istilah Agrarian Reform daripada istilah Land Reform (Parlindungan A.P. 1989:8).
Agrarian reform Indonesia meliputi lima program yaitu:
1. pembaharuan hukum agrarian
2. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
3. mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
4. perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
5. perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
1. pembaharuan hukum agrarian
2. penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi colonial atas tanah
3. mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
4. perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah
5. perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu secara berencana sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuannya.
Keseluruhan yang tersebut di atas merupakan pengertian land
reform dalam arti luas sedangkan pengertian land reform dalam arti sempit
terdapat pada point 4.(Perangin, Effendi, 1989:121).
2. Dasar Hukum Land Reform:
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).
Sebagai pelaksanaan dari pasal 17 UUPA tentang batas minimum dan maksimum hak atas tanah, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 pada tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1960. Perpu No. 56/1960 ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang No.56 Prp tahun 1960 (LN 1960 no. 174, Penjelasannya dimuat dalam TLN No. 5117 tentang Penetapan luas tanah pertanian. UU No. 56/1960 merupakan undang-undang land reform di Indonesia (Harsono, Boedi, 1999:356). Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 (LN 1961-280) tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi. (Parlindungan, A.P., dalam Nur, S.R., 1986:23).
3. Tujuan Land Reform
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Tujuan dari land reform yang diselenggarakan di Indonesia adalah untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
4. Program Land Reform
Program land reform meliputi:
1. pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
2. larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
3. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
4. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
5. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
1. pembatasan luas maksimum pemilikan tanah
2. larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut “absentee” atau “guntai”
3. redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan “absentee”, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah Negara
4. pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
5. pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
5. Analisis
Sebagaimana di uraikan di atas bahwa salah satu program
landreform adalah pembatasan luas maksimum dan minimum tanah yang dapat
dimiliki oleh rakyat. Namun, Pelaksanaan pembatasan kepemilikan tanah hingga
sekian puluh tahun usia UUPA masih juga belum seperti yang diharapkan. Ini
tampak dari beberapa hal yaitu :
Pertama, kepemilikan tanah secara absentee, yang seringkali
merupakan hal yang diketahui, tetapi sulit untuk dibuktikan karena dilakukan
melalui cara-cara pembuatan surat kuasa mutlak atau pemilikan KTP ganda.
Kedua, pemilikan batas maksimum juga tidak selalu terdeteksi
dan hal-hal seperti ini menyumbang pada persoalan macetnya program landreform.
Ketiga, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang maksimum luas tanah yang dapat dikuasai dengan menggunakan hak guna
usaha (HGU). Pada pasal 28 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria, hanya disebutkan
bahwa HGU diberikan atas tanah yang luasnya minimal lima hektar, den-gan
ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal
yang layak dan tek-nik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan jaman.
UUPA sama sekali tidak menyinggung tentang luas maksimal HGU.
Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektar dan peruntukan
tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari
lima tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya,
peraturan Kepala BPN No. 3 tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100
hektar ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk
HGU yang mencapai lebih dari 100 hektar diberikan oleh Kepala BPN.
Luas maksimum tanah hak guna bangunan (HGB) juga tidak
diatur oleh UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 tahun
1972, Pasal 4 menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak
lebih dari 2.000 meter persegi dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun
di-berikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut peraturan Meneg Agraria No. 2 tahun
1993, Surat Keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5
hektar diterbitkan oleh Kakanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektar
diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Hal ini menjadi salah hambatan dalam pelaksanaan aturan
tentang batas luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki.
Peraturan yang jelas dan tegas tentang pembatasan pemilikan
tanah kini menjadi semakin penting, seiring dengan kebutuhan atas tanah yang
semakin meningkat. Terhadap penguasaan tanah pertanian, Pasal 7 UUPA meletakkan
prinsip bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperk-enankan agar tidak merugikan kepentingan umum. Maka, Pasal 11 ayat (1)
UUPA mengatur hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul
darinya. Hal ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan
perkerjaan orang lain yang melampaui batas. Kemudian ayat 2 dari pasal yang
sama juga memperhatikan adanya perbedaan da-lam keadaan dan keperluan hukum
berbagai golongan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional.
Penekanan dari aturan ini adalah akan diberikannya jaminan
perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Dalam Pasal 12 dan
Pasal 13 UUPA, pemerintah menegaskan usaha pencegahan monopoli swasta.
Sedang-kan usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya
dapat diselenggarakan dengan undang-undang.
Masalah penguasaan tanah pertanian, prinsip dasarnya telah
digariskan dalam Pasal 7 dan Pasal 10 (prinsip mengerjakan atau mengusahakan
sendiri hak atas tanah pertanian secara aktif) serta Pasal 17 yang
mengisyaratkan tentang perlunya peraturan mengenai batas maksimum luas tanah
pertanian yang dapat dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Urusan tanah-tanah nonpertanian diatur dengan UU No. 56 PRP tahun 1960 Pasal 12 tentang perlunya pembatasan maksimum luas dalam jumlah (bidang) tanah untuk perumahan. Sedangkan untuk pembangunan lainnya akan diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Namun hingga saat ini PP tersebut masih belum juga terbit.
Sebelum memperoleh hak atas tanah, pemilik HGU dan HGB
(biasanya adalah penanam modal) harus memperoleh ijin lokasi yang sering
berdampak negatif karena disalah gunakan serta pengawasan dan pengendaliannya
tidak efektif. Perolehan tanah lewat ijin lokasi tanpa ketentuan batas maksimum
tanah sering diwarnai dengan pemberian ganti rugi yang tidak adil dan disertai
pemaksaan kehendak secara sepihak dan penggusuran. Alih fungsi tanah pertanian
sering dilakukan untuk dijual lagi dengan harga mahal.
Tanah tidak pernah dijadikan strategi pembangunan sehingga
pelaksanaan UUPA sering terhambat secara politis psikologis. Hingga kini belum
ada alokasi penggunaan tanah untuk berbagai keperluan sehingga sering timpang.
Rencana tata ruang juga sering dimanipulasi oleh banyak pihak. Pemerintah saat
ini perlu memiliki lembaga penyalur tanah (land banking), untuk mengendalikan
pihak swasta yang ingin menguasai tanah secara besar-besaran untuk berbagai
keperluan. Selain itu, orientasi pembangunan yang cenderung mengejar
pertumbuhan dan bertumpu pada strategi industrialisasi tanpa perencanaan
penggunaan tanah yang baik, berakibat pada pengalihfungsian tanah-tanah
pertanian untuk kegunaannya yang lain. Akibat dari ketimpangan akses
kepemilikan tanah ditambah dengan rasa ketidakadilan dari bekas pe-megang hak
atas tanah yang tergusur dan kecemburuan sosial dari masyarakat yang
tersingkirkan dari ke-sempatan memperoleh tanah, ditambah krisis moneter yang
membuat banyak orang terkena PHK, kini tampak dalam bentuk penyerobotan dan
“penjarahan” tanah.
Pilihan kebijakan pertanahan dalam kaitannya dengan
penguasaan tanah adalah keseimbangan antara memberikan ruang gerak bagi
berkembangnya investas sekaligus melindungi dan memberdayakan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhannya atas tanah. Jika dapat memilih, maka dasar kebijakan yang
perlu diambil haruslah kebijakan pertanahan yang bertumpu pada ekonomi
kerakyatan demi pelaksanaan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Kata kunci dari semuanya
adalah tanah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kebijaksanaan
pertanahan harus mampu menjamin keadilan untuk mendapat akses dalam perolehan
dan pemanfaatan tanah. Selain itu, kebijakan ini mengikutsertakan masyarakat
dalam proses pembuatan kebijakan dan berbagai keputusan penting yang menyangkut
pemanfaatan tanah terutama yang berskala dan berdampak besar. Masyarakat juga
harus dapat turut mengawasi terlaksananya berbagai ketentuan yang menyangkut
pen-guasaan tanah yang punya dampak besar.
Sudah saatnya dilakukan sesuatu yang konkrit melalui
pendekatan holistik dalam merancang kebijakan pe-nataan kembali penguasaan
tanah agar kebijakan yang diterbitkan tidak terkesan parsial atau justru malah
bertentangan sama sekali.
Dari uraian ini disimpulkan bahwa pembatasan luas maksimum
dan minimum tanah merupakan hal yang penting karena pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan dapat merugikan kepentingan
umum. Selain itu, pembatasan juga dapat memberi pengaturan untuk mengatur
hubungan antara orang dengan tanah beserta wewenang yang timbul darinya. Hal
ini juga dilakukan guna mencegah penguasaan atas kehidupan dan perkerjaan orang
lain yang melampaui batas. Penekanan lain dari aturan ini adalah akan
diberikannya jaminan perlindungan terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah
dengan melakukan usaha pencegahan monopoli swasta. Hal ini dapat lebih
memudahkan proses pencegahan atau penyelesaian konflik pertanahan yang timbul
di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment