Sunday, 20 May 2012

Teknologi Pertanian

Indonesia tidak bisa begitu saja melupakan pertanian, bagaimanapun sektor agraris tetap saja menjadi sektor paling penting.  Pembangunan pertanian harus berlanjut, sebagaimana ditempuh negara tetangga Thailand dan Vietnam. Usaha penelitian dan pengembangan teknologi pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani perlu dilanjutkan dan ditingkatkan.
Kemampuan petani dalam penerapan dan penguasaan teknologi pertanian harus ditumbuhkan melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan. Sedangkan untuk memperlancar keanekaragaman produksi serta meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditi pertanian perlu dipacu melalui usaha agroindustri dan agrobisnis.
Untuk mewujudkan arah pembangunan sektor pertanian tersebut, komponen teknologi pertanian muncul sebagai tulang punggung. Bagaimanapun hanya melalui penggunaan teknologi yang maju sektor pertanian bisa menjadi efisien dan tangguh.
 
Dimasyarakatkan
Dalam buku Menggerakan dan Membangun Pertanian, A.T.Mosher menjelaskan, bahwa teknologi yang senatiasa berubah merupakan syarat mutlak adanya pembangunan pertanian. Kalau tidak ada perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian pun akan terhenti. Produksi terhenti kenaikannya, bahan dapat menurun karena merosotnya kesuburan tanah atau karena kerusakan yang makin meningkat oleh hama penyakit yang main merajalela.
Dengan demikian untuk makin tumbuh dan berkembangnya sektor pertanian, maka pengembangan dan aplikasi teknologi pertanian sangat diperlukan, dengan kata lain perlu dimasyarakatkan.
Untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, masyarakat tani harus melek teknologi, paling tidak mampu mengadopsi teknologi tepat guna dan diterapkan dalam usaha taninya.
Dalam sektor pertanian senantiasa terjadi perubahan teknologi (technology change) dan muncul inovasi (innovation). Dalam beberapa dekade terakhir hal itu terlihat jelas pada sub sektor tanaman pangan. Khususnya padi.
Berkat perkembangan teknologi, Indonesia yang semula berstatus sebagai negara pengimpor beras terbesar di dunia, sempat berubah menjadi negara berswasembada beras, bahkan pernah mengekspor.
Berbagai teknologi yang dikembangkan, mulai dari teknologi benih yang menghasilkan benih unggul berproduksi tinggi, teknologi pemupukan yang antara lain menghasilkan urea tablet, teknologi pengendalian hama dan penyakit, termasuk teknologi pengembangan mesin budidaya dan pasca panen, kontribusinya sangat nyata terhadap peningkatan produksi dan perbaikan kesejahteraan sebagian petani.
Posisi swasembada beras pernah disandang. Hal itu menunjukkan adanya kemampuan masyarakat tani dalam mengadosi berbagai teknologi baru. Meskipun tingkat pendidikan sebagian besar petani rendah, namun ternyata petani Indonesia memiliki kemampuan yang tinggi dalam memahami dan mengaplikasikan teknologi pertanian.
Hal itu juga berkat kepiawaian para penyuluh lapangan yang senantiasa memberikan motivasi dan bimbingan kepada peatni. Di tingkat pusat, Kementerian Pertanian melalui Badan penelitian dan Pengembangan (Balitbang) hingga ke Balai Penelitian tak henti-hentinya berupaya mencari dan menemukan teknologi terbaru, yang diharapkan mampu mendongkrak perkembangan sector pertanian.
Kalau padamulanya perhatian relatif terfokus pada sub sektor tanaman pangan, maka kini sub sektor lainnya pun terus diperhatikan secara serius, baik hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan, bahkan kini telah berdiri Kementerian Kelautan dan Perikanan. Selain itu Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Hasil Pertanian (Agroindustri) pun turut berupaya meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Dengan adanyanya dukungan Kementerian, BPPT, Bappenas, perguruan tinggi, LSM, dan sebagainya, maka pengembangan teknologi pertanian pun makin marak.
Untuk memasyarakatkan teknologi baru memang tidak mudah, memerlukan waktu dan proses, juga tergantung pada bagaimana kondisi masyarakat tani. Menurut Prof Mubyarto, begitu petani merasa suatu hasil teknologi baru menguntungkan maka ia akan menerimanya. Tidak hanya petani Indonesia tetapi petani di mana saja, bahkan di Amerika Serikat dan Australia, memerlukan waktu berpikir yang lama.
Petani Iowa (Amerika Serikat) memerlukan waktu rata-rata Sembilan tahun untuk mengadopsi jagung hibrida; petani Australia Selatan membutuhkan waktu 12 tahun untuk mengadopsi penggunaan pupuk sejak pertama kali diperkenalkan. Sedangkan petani Indonesia hanya memerlukan waktu setahun untuk mempertimbangkan untung ruginya menanam padi varietas PB 8 dan PB 5.
Pengembangan teknologi pertanian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani dan nelayan; memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; mengisi dan memperluas pasar dalam dan luar negeri; meningkatkan keanekaragaman hasil; meningkatkan mutu dan derajat pengolahan produksi; dan menunjang pembangunan wilayah. Hal itupun tertuang dalam program pembangunan bahkan semasa Orde Baru berkuasa masuk dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). (Atep Afia).

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...