Sunday 27 May 2012

filsafat etika


BAB I
Pendahuluan
Definisi Etika
                Pengertian Etika (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupa¬kan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghin-dari hal-hal tindakan yang buruk.Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku.
                Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia.
Istilah lain yang iden¬tik dengan etika, yaitu:
• Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
• Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang pembahasan Etika, sebagai berikut:
• Terminius Techicus, Pengertian etika dalam hal ini adalah, etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia.
• Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya; antara lain:
1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right)
2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions)
3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai individual. (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual)
4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty)
5. Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.
-  Menurut Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
- Menurut Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.
- Menurut Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
- Menurut K. Bertens, dalam buku berjudul Etika, 1994. yaitu secara umum¬nya sebagai berikut:
1. Etika adalah niat, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak sesuai pertimbangan niat baik atau buruk sebagai akibatnya. .
2. Etika adalah nurani (bathiniah), bagaimana harus bersikap etis dan baik yang sesungguhnya timbul dari kesadaran dirinya.
3. Etika bersifat absolut, artinya tidak dapat ditawar-tawar lagi, kalau perbuatan baik mendapat pujian dan yang salah harus mendapat sanksi.
4. Etika berlakunya, tidak tergantung pada ada atau tidaknya orang lain yang hadir.
- Menurut Maryani & Ludigdo : etika adalah seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia,baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang di anut oleh sekelompok atau segolongan masyarakat atau prifesi.
- Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: etika adalah nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
- Menurut Aristoteles: di dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, Pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu, Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. dan yang kedua yaitu, Manner dan Custom yang artinya membahas etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.
- Menurut Kamus Webster: etika adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara moral.
- Menurut Ahli filosofi: Etika adalah sebagai suatu studi formal tentang moral.
- Menurut Ahli Sosiologi: Etika adalah dipandang sebagai adat istiadat,kebiasaan dan budaya dalam berperilaku.
                Definisi tentang etika dapat di klasifikasikan menjadi tiga (3) jenis definisi, yaitu sebagai berikut :
• Jenis Pertama, Etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia
• Jenis Kedua, Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama.
• Jenis Ketiga, Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terh
                Pengertian Etika Dalam kamus umum Bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok social (profesi) itu sendiri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
etika adalah:
• Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
• Kumpulan asas/nilai yang berkenaan dengan akhlak
• Nilai mengenai yang benar dan salah yang dianut masyarakat.
Etika terbagi atas dua :
                Etika umum ialah etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia itu bertindak secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk bertindak dan digunakan sebagai tolok ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
Etika khusus ialah penerapan moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi (wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).


Bab. II
Sejarah Filsafat Etika
A.                  Sejarah Filsafat Etika  Yunani
                Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan.
                Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan
dengan suatu kerangka pengertian hedonistik.
                Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang
sebenarnya.
                Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles  (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang hidup yang baik.  Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim.  Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat yunani sehingga mempengaruhi
tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika.
                Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas
filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah  “hidup dalam
kesembunyian“.
                Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.  Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur  daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
                Tokoh-tokoh filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya) banyak
dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat yunani.



BAB II
Pembahasan

A.            Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
                Istilah Etika secara bahasa berasal dari bahasa Yunani ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: adat, watak atau kesusilaan.  Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Menurut Pujowijatno, makna utama dari etika, yang terambil dari kata Yunani ethos, adalah tingkah laku.  Sehubungan dengan ini, Mahjuddin mengartikan kata etika, yang secara bahasa berasal dari Yunani ethos, sebagai adat, watak atau kesusilaan.  Dengan demikian di kalangan ahli memang telah ada kesepakatan perihal asal kata etika yakni berasal dari bahasa Yunani ethos. Dan meskipun para ahli memberikan makna kebahasaan yang cukup beragam terhadap kata etika itu, namun makna-makna itu pada umumnya tetap berada pada lingkaran di seputar perbuatan-perbuatan kategori akhlaki seperti: kebiasaan, tingkah laku, kesusilaan dan semisalnya. Sementara itu pengertian kata moral, yang secara etimologis berasal dari bahasa Latin mos dan jamaknya adalah mores berarti kebiasaan dan adat.  Dalam bahasa Indonesia, kata Suwito, pada umumnya kata moral diidentikkan dengan kata etika.
                Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan moral, dan juga dengan akhlak. Sebagai disampaikan oleh Komaruddin Hidayat, etika adalah suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia.  Sejalan dengan pengertian ini, Suwito menegaskan bahwa etika baru menjadi sebuah ilmu bila kemungkinan-kmungkinan etis telah menjadi refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini, lanjut Suwito, identik dengan filsafat moral.  Bersama estetika, etika merupakan cabang filsafat yang menjadi bagian dari wilayah nilai, sehingga etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji secara rasional, kritis, reflektif, dan radikal persoalan moralitas manusia.  Jadi etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya.  Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya. Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika.  Bila dirujukkan dengan penjelasan Pudjowijatno, bila moralitas sebagai objek materialnya, maka tindakan manusia yang dilakukannya dengan sengaja adalah objek formal dari etika,  dan perilaku sengaja inilah yang biasa pula dinamakan dengan tindakan akhlaki atau perilaku etis.  Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Sementara moral lebih beraakenaan dengan tingkah laku yang kongkrit, berbeda dengan etika yang bekerja pada level teori.
                Atas dasar pengertian tersebut dapat ditarik garis batas dan garis hubungan etika dengan moral di satu pihak dan dengan akhlak pada pihak lain. Moral merupakan aturan-aturan normatif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertntu yang terbatas oleh ruang dan waktu, yang penetapan tata nilai itu di masyarakat menjadi wilayah garapan antropologi. Dengan demikian moral lebih dekat dengan akhlak, meski tidak sepenuhnya, ketimbang dengan etika. Meski demikian mesti dikatakan bahwa karakteristika akhlak adalah bersifat agamis, dan ini tidak ada pada moral. Oleh karena itu akhlak lebih merupakan sebagai suatu paket atau barang jadi yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa mempertanyakan secara kritis, sehingga akhlak bisa disebut dengan moralitas islami. Studi kritis terhadap moralitas itulah wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek kajian daripada etika.  Dengan demikian kalau dibandingkan dengan penjelasan mengenai akhlak di atas, kiranya dapat diketahui bahwa etika lebih menunjuk pada ilmu akhlak, sedangkan moral lebih merupakan perbuatan konkrit realisasi dari kekuatan jiwa.
                Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersimber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan ilmu akhlak, namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Barangkali kalau ada beberapa ahli yang tidak membedakan dua istilah itu, sangat boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu.
                Selanjutnya adalah menyengkut perbedaan akhlak dengan moral. Meski keduanya sama-sama menunjuk pada perbuatan, namun bila dilihat dari objeknya, dua istilah itu tidak identik; sifat akhlak adalah teorsentris, karena segala perbuatan yang ditunjuk oleh istilah akhlak dilihat dalam kontksnya dengan Tuhan, baik perbuatan dalam hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama manusia. Sementara moral hanya menunjuk pada perbuatan dengan sesama manusia, tidak menunjuk pada yang dengan Tuhan, karenanya bersifat antroposentris, dan tujuannya hanya sebatas untuk kepentingan manusia. Dengan kaata lain, objek akhlak lebih kompleks karena mencakup akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap manusia, dan keduanya bersifat teorsentris; sementara moral hanya menyangkut perbuatan terhadap sesama manusia, dan hanya dilihat untuk tujuan antroposentris.
B.            Filsafat Etika Ibn Miskawayh
                Nama lengkap Ibnu Miskawayh adalah Abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub ibn Miskawayh. Ia lahir di kota Ray (Iran) pada 320 H (932) M) dan wafat di Asfahan 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M).  Ibnu Miskawayh mendapat gelar guru ketiga setelah al-Farabi.  Ia belajar sejarah dan filsafat, serta pernah menjadi khazin (pustakawan) Ibn al-‘Abid dimana dia dapat menuntut ilmu dan memperoleh banyak hal positif berkat pergaulannya dengan kaum elit. Setelah itu Ibnu Miskawayh meninggalkan Ray menuju Bagdad dan mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa jabatan lain. Akhir hidupnya banyak dicurahkannya untuk studi dan menulis.
                Ibnu Miskawayh lebih dikenal sebagai filsuf akhlak (etika) walaupun perhatiannya luas meliputi ilmu-ilmu yang lain seperti kedokteran, bahasa, sastra, biologi dengan teori evolusinya  dan sejarah. Bahkan dalam literatur filsafat Islam, tampaknya hanya Ibnu Miskawayh inilah satu-satunya tokoh filsafat akhlak.
                Ibnu Miskawayh meninggalkan banyak karya penting, misalnya tahdzibul akhlaq (kesempurnaan akhlak), tartib as-sa’adah (tentang akhlak dan politik), al-siyar (tentang tingkah laku kehidupan), dan jawidan khirad (koleksi ungkapan bijak).
Seperti ilmuwan lainnya pada era abad ke-4 H dan ke-5 H (abad ke-10 M dan ke-11 M) Ibnu Miskawayh merupakan orang yang memiliki wawasan luas dalam bidang filosofi, berdasarkan pada pendekatannya terhadap filsafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
                Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.
                Neoplatonism Ibnu Miskawayh memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.
                Ibnu Miskawayh menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
                Ibnu Miskawayh menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara  umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.
                Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.
                Ibnu Miskawayh menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawayh menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
                Kitab Taharat al-A’raq merupakan karya yang paling tinggi dan menunjukkan fakta-fakta kompleksitas yang konseptual sekali. Dalam karyanya itu, ia menetapkan untuk menunjukkan bagaimana kita dapat mungkin memperoleh watak yang baik untuk melakukan tindakan yang benar dan terorganisir serta sistematis.
                Menurut  Ibnu Miskawayh, jiwa adalah abadi dan substansi  bebas yang mengendalikan tubuh. Itu intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah.  Kebahagiaan kami timbul melalui gerakan keatas, kemalangan kami melalui gerakan dalam arah berlawanan.
Pembahasan Ibnu Miskawayh tentang kebaikan dengan menggabungkan ide Aristoteles dengan Platonic. Menurut dia, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.
                Bapak Etika Islam
                Ibnu Miskawayh dikenal sebagai bapak etika Islam. Ia telah telah merumuskan dasar-dasar etika di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlaq). Sementara itu sumber filsafat etika ibnu Miskawayh berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.
                Menurut Ibnu Miskawayh, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti peri keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadi sifat diri yang dapat melahirkan khuluq yang baik.
                Kata dia, ada kalanya manusia mengalami perubahan khuluq sehingga dibutuhkan aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawayh memperhatikan pula proses pendidikan akhlaq pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dan jiwa manusia yang berakal.
                Menurut dia, jiwa anak-anak itu menghilangkan jiwa binatang tersebut dan memunculkan jiwa kemanusiaannnya.  ”Jiwa manusia pada anak-anak mengalami proses perkembangan. Sementara itu syarat utama kehidupan anak-anak adalah syarat kejiawaan dan syarat sosial,” ungkap Ibnu Miskawayh.
Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun mengharuskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qonaah, pemurah, suka mengalah, mngutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib taat, menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lainnya.
                Ibnu Maskawaih membedakan antara al-Khair (kebaikan), dan as-sa’adah (kebahagiaan). Beliau mengambil alih konsep kebaikan mutlak dari Aristoteles, yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati. Menurutnya kebahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang bersumber pada selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan perbuatan baik. Dalam menempuh perjalananannya meraih kebahagiaan tertinggi tersebut manusia hendaklah selalu berpegangan pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.
                Ia berpendapat jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan, yakni  nafsu kebinatangan, nafsu binatang buas, dan jiwa yang cerdas. ”Setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung dengan pola pendidikan, pengajaran dan pergaulan.
C. Filsafat Etika Al-Ghazali
                Al-Ghazâlî adalah salah satu tokoh yang paling terkenal yang hidup pada tahun 450-505 H. bertepatan dengan 1058-1111 M. Lebih-lebih lagi di kalangan mereka yang mempelajari kitab-kitab yang ditulisnya seperti Ihyâ`u `Ulûm al-Dîn, Minhaj al-`Âbidîn, Bidâyat al-Hidâyah dan lain lain lagi. Nama lengkapnya ialah Muhamad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazâlî al-Tûsî. Beliau lebih dikenal dengan panggilan al-Ghazâlî yaitu nisbah kepada kampung tempat kelahirannya yaitu Ghazalah yg terletak di pinggir bandar Tusi di dalam wilayah Khurasan, Parsi (Iran). Dengan itu al-Ghazâlî berarti orang Ghazalah, kemungkinan juga panggilan tersebut dinisbahkan kepada bapanya seorang tukang tenun kain bulu yang dalam bahasa arabnya dikatakan al-ghazzâl. Al-Ghazâlî juga digelar Abû Hamîd, dinisbahkan kepada anaknya. Beliau juga digelar hujjat al-islâm yaitu suatu gelaran penghormatan yang diberikan kepadanya kerana kejituan dan kecerdasannya di dalam membela agama Islam.
Ia dikenal sebagai seorang ulama, filsuf, dokter, psikolog, ahli hukum, dan sufi yang sangat berpengaruh di dunia Islam.
                Selain itu, berbagai pemikiran Algazel--demikian dunia Barat menjulukinya--juga banyak mempengaruhi para pemikir dan filsuf Barat pada abad pertengahan. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sungguh fenomenal. ''Tak diragukan lagi bahwa buah pikir Al-Ghazali begitu menarik perhatian para sarjana di Eropa,'' tutur Margaret Smith dalam bukunya yang berjudul Al-Ghazali: The Mystic yang diterbitkan di London, Inggris, tahun 1944. Salah seorang pemikir Kristen terkemuka yang sangat terpengaruh dengan buah pemikiran Al-Ghazali, kata Smith, adalah ST Thomas Aquinas (1225 M-1274 M). Aquinas merupakan filsuf yang kerap dibangga-banggakan peradaban Barat. Ia telah mengakui kehebatan Al-Ghazali dan merasa telah berutang budi kepada tokoh Muslim legendaris itu. Pemikiran-pemikiran Al-Ghazali sangat mempengaruhi cara berpikir Aquinas yang menimba ilmu di Universitas Naples. Saat itu, kebudayaan dan literatur-literatur Islam begitu mendominasi dunia pendidikan Barat.
Perbedaan terbesar pemikiran Al-Ghazali dengan karya-karya Aquinas dalam teologi Kristen, terletak pada metode dan keyakinan. Secara tegas, Al-Ghazali menolak segala bentuk pemikiran filsuf metafisik non-Islam, seperti Aristoteles yang tidak dilandasi dengan keyakinan akan Tuhan. Sedangkan, Aquinas mengakomodasi buah pikir filsuf  Yunani, Latin, dan Islam dalam karya-karya filsafatnya.
                Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
                Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya.
                Filsafat dipelajari Al-Ghazali secara serius saat dia tinggal di Baghdad. Sederet buku filsafat pun telah ditulisnya. Salah satu buku filsafat yang disusunnya, antara lain, Maqasid al-Falasifa (The Intentions of the Philosophers). Lalu, ia juga menulis buku filsafat yang sangat termasyhur, yakni Tahafut al-Falasifa (The Incoherence of the Philosophers).
                Al-Ghazali merupakan tokoh yang memainkan peranan penting dalam memadukan sufisme dengan syariah.  Konsep-konsep sufisme begitu baik dikawinkan sang pemikir legendaris ini dengan hukum-hukum syariah. Ia juga tercatat sebagai sufi pertama yang menyajikan deskripsi sufisme formal dalam karya-karyanya. Al-Ghazali juga dikenal sebagai ulama Suni yang kerap mengkritik aliran lainnya. Ia tertarik dengan sufisme sejak berusia masih belia.
                Salah satu tokoh Asy’ariyah yang banyak mengembangkan teori etika di dunia Islam adalah al-Ghazali. Beliau menghubungkan wahyu dengan tindakan moral. Al-Ghazali menyarankan kepada kita untuk memandang kebahagiaan sebagai pemberian anugerah Tuhan. Al-Ghazali menganggap keutamaan-keutamaan dengan pertolongan Tuhan adalah sebuah keniscayaan dalam keutamaan jiwa. Jadi, dengan menerapkan istilah keutamaan kepada pertolongan Tuhan, Al-Ghazali bermaksud menghubungkan keutamaan dengan Tuhan. Tidak ada keutamaan lain yang dapat dicapai tanpa pertolongan Tuhan. Bahkan, al-Ghazali menegaskan bahwa tanpa pertolongan Tuhan, usaha manusia sendiri dalam mencari keutamaan sia-sia, dan dapat membawa kepada sesuatu yang salah dan dosa.
                Rupanya, al-Ghazali ingin menyamakan pengertian etika atau moralitas sama halnya dalam teologi Islam. Menurut Amin Abdullah, al-Ghazali jatuh pada “reduksionisme teologis”. Artinya, al-Ghazali menempatkan wahyu al-Qur’an menjadi petunjuk utama --atau bahkan satu-satunya-- dalam tindakan etis, dan dengan keras menghindari intervensi rasio dalam merumuskan prinsip-prinsip dasar universal tentang petunjuk ajaran al-Qur’an bagi kehidupan manusia. Titik perbedaan antara filsafat etika al-Ghazali dan Kant terletak pada penggunaan rasionalitas. Al-Ghazali menyusun teori etika mistik, sedang Kant membangun sistem etika rasional yang teliti untuk menggantikan doktrin metafisika-dogmatik-spekulatif.
                Menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.
                Etika atau akhlak menurut pandangan al-Ghazali bukanlah pengetahuan (ma’rifah) tentang baik dan jahat atau kemauan (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap. Al-Ghazali berpendapat sama dengan Ibn Miskawaih bahwa penyelidikan etika harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan-kekuatan dan sifat-sifatnya. Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya ke dalam tiga; daya nafsu, daya berani, dan daya berfikir, sama dengan Ibn Miskawaih.
                Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan. Kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak. Tentang teori Jalan Tengah Ibn Miskawaih, al-Ghazali menyamakannya dengan konsep Jalan Lurus (al-Shirât al-Mustaqîm) yang disebut dalam al-Qur’an dan dinyatakan lebih halus dari pada sehelai rambut dan lebih tajam dari pada mata pisau. Untuk mencapai ini manusia harus memohon petunjuk Allah karena tanpa petunjuk-Nya tak seorang pun yang mampu melawan keburukan dan kejahatan dalam hidup ini. Kesempurnaan jalan tengan dapat di raih melalui penggabungan akal dan wahyu.
                Al-Ghazali, untuk pertama kalinya, menghancurkan otoritas Aristoteles dan pada saat yang sama menabur bibit-bibit filsafat mekanika, fondasi rnetafisika un¬tuk sains modern. Maka kontribusinya itu tidak hanya destruktif, tetapi juga kons¬truktif. Alih-alih menghambat perkembang¬an sains, al-Ghazãli adalah seorang agen dalam memfasilitasi kemajuan yang lebih jauh. Sebagai seorang individu, ia telah mencapai untuk pertama kalinya antara tahun 1094 dan 1108 hal-hal yang sama seperti apa dicapai orang-orang Eropa selama lima abad, yaitu dan akhir abad ke- 12 hingga abad ke- 17. Dengan demiki¬an, ia mensimbolisasikan individualisme, suatu pemikiran yang bernilai pada zaman Renaissance, dalam cara yang paling baik, dan alih-alih mengikuti otoritas filsafat, ia menyerang dan menghancurkan ide-ide bid’ah Aristoteles dan Aristotelianisme dalam tiga tahun, yaitu dan tahun 1092 hingga 1095.
                Dia telah menunjukkan anomali¬-anomali pada Aristotelianisme dalam pan¬dangan teologi Islam, membentangkan dasar-dasar metafisika Descartes, men¬dukung kepercayaan atomistik dengan mengemasnya dalam kemasan teologis jauh sebelum Pierre Gassendi meng-Kristen-kan atomisme, dan menolak keharusan kausalitas, yang dengan demikian mendahului David Hume. Tentu saja, dengan pernyataan-pernyataan ini saya tidak mengklaim adanya suatu pengaruh langsung, tetapi mencoba menemukan paralelisme yang rapat yang ada antara Islam dan Barat. Perlu dicatat bahwa al-Ghazali berbicara dan tinjauan teologi Islam sementara para pemikir yang disebut di atas, jika mereka pernah mengambil manfaat dan ide-ide al-Ghazãli, mengambil ide-ide itu tanpa melihat konteksnya dan menggunakan ide-ide tersebut untuk tujuan mereka.
                Pandangan-pandangan Aristoteles, seperti yang dikembangkan oleh al-Fãrãbi dan lbn Sinã, itu sebetulnya dekat dengan pandangan para penulis Islam. Seluruh kesalahan mereka dapat dirangkum dalam dua puluh poin, tiga diantaranya mereka harus dianggap kafir dan tujuh belasnya sebagai bid’ah. Al-Ghazali menyusun Tahafut al-Falasifa (Kerancuan para Filosof) adalah untuk menunjukkan ke¬salahan pandangan-pandangan mereka dalam dua puluh poin itu. Tiga poin yang membuat mereka berbeda dan semua umat Islam adalah seperti berikut:
a)      Mereka mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan kembali bagi tubuh; hanya roh yang diberi pahala atau disiksa, dan pahala dan siksa itu pun bersifat spiritual, tidak badani. Mereka betul-betul berbicara benar dalam menegaskan yang bersifat spiritual, karena memang hal itupun terjadi; tetapi mereka berbicara salah dalam menolak yang bersifat badani dan dalam pernyataan mereka itu tidak niengimani wahyu Tuhan.
(b)  Mereka mengatakan bahwa Tuhan mengetahui universalia tetapi tidak rriengetahui partikularia. ini juga jelas¬jelas tidak beriman. Yang benar ada¬lah bahwa ‘tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi’ walau seberat atom pun’ (Qs. 34, 3).
(c)  Mereka mengatakan bahwa dunia itu kekal, tanpa awal. Tetapi tidak ada umat Islam yang mengadopsi pandan¬gan demikian dalam persoalan ini.
D. Filsafat Etika Antara Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî
Abad kesepuluh masehi menjadi periode gemilang dalam perkembangan peradaban Islam. Pada masa itu, para intelektual Muslim telah sampai pada puncak kematangan pemikiran dan berbagai ide. Bahkan beragam ide yang berasal dari tradisi intelektual di luar Islam, khususnya filsafat Yunani.
Apalagi kala itu, pada saat Dinasti Abasid berkuasa, gencar melakukan translasi atau penerjemahaan karya-karya dari berbagai bidang ilmu ke dalam bahasa Arab. Tak ayal jika banyak Dâr al-`Ilm (semacam perpustakaan umum) didirikan. Bukan hanya di pusat pemerintahan, Baghdad, tetapi juga di Kairo, Kordoba, dan di belahan dunia Islam lainnya.
                Tak hanya perpustakaan umum yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, perpustakaan pribadi juga banyak bermunculan. Mudahnya akses ke berbagai pengetahuan ini tak heran membuat banyak kalangan yang membuat majelis kajian untuk berdiskusi mengenai hal ihwal agama, filsafat maupun bidang lainnya.
                Pada masa seperti inilah kemudian muncul seorang intelektual Muslim terkemuka dalam bidang etika yaitu Ibn Miskawayh yang masa hidupnya dia habiskan di tanah kelahirannya.
Kemudian Ibn Miskawayh meninggalkan kota kelahirannya menuju Baghdad, Irak. Ia bekerja sebagai pustakawan di perpustakaan umum pada masa pemerintah dinasti Abbasiyyah. Ia bekerja di sana hingga beberapa kali pergantian kekuasaan terjadi. Perpustakaan bagi dirinya merupakan sekolah yang membuatnya mampu berinteraksi dengan berbagai ilmu pengetahuan.
                Ia secara tekun dan serius melakukan kajian di bidang filsafat, sejarah dan kedokteran, bahkan kimia. Di antara kajian yang menjadi perhatian utamanya adalah filsafat Yunani dan sejarah. Kedua kajian inilah di kemudian hari mengantarnya menjadi intelektual yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut.
                Seperti ilmuwan yang hidup di zamannya, Ibn Misakawayh mempelajari filsafat dan sejarah sebagai alat untuk menemukan kebanaran. Namun, ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis.
                Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai seorang Islam humanis. Pasalnya ia memiliki kecenderungan agar Islam dapat masuk ke dalam sistem praktik rasional yang lebih luas pada semua ranah kemanusiaan. Dengan kajian filsafat Yunani ia kemudian terpengaruh oleh pemikiran Neoplatonisme baik pada sisi teori maupun praktik. Label humanis bagi Ibn Miskawayh juga disematkan oleh kalangan pemikir Muslim, misalnya, Mohamed Arkoun pada 1969 menyematkan label terhadap dirinya sebagai seorang humanis. Namun hal ini dilihat dalam sudut pandang tradisi intelektual Islam, bukan dalam tradisi intelektual humanisme Eropa.
                Dalam kajian filsafat etika, Ibn Miskawayh menelurkan karya monumental yaitu Tahdzîb al-Akhlâq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri atas tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat.
Hal ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau etika memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian.
                Pada bagian awal dalam kitabnya, ia membicarakan tentang jiwa dan sifat-sifatnya. Seseorang akan mampu menggapai kebahagiaan hidup jika ia mampu menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa. Di antaranya adalah kedahagaan jiwa terhadap asupan ilmu. Selain itu, kendati jiwa mendapat banyak prinsip ilmu pengetahuan melalui indera, tetapi jiwa ini sendiri mempunyai prinsip lain serta tingkah laku yang lain pula, yang sama sekali bukan dari indera. Maka, kalau jiwa menilai bahwa antara dua ekstrim dari satu kontradiksi tak ada titik tengah, keputusan ini tidak diperolehnya melalui sesuatu yang lain. Karena, itu merupakan prinsip pertama dan tak akan demikian jika berasal dari sesuatu yang lain.
                Ibn Miskwayh memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tak hanya bergantung kepada hal yang bersifat materi. Selanjutnya akan membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang sempurna. Itulah salah satu sifat yang dimiliki oleh jiwa.
                Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannnya, setiap manusia mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifat-sifat kebahagiaan itu. Ada dua hal yang dapat mempengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan itu, yaitu kondisi eskternal dan internal dirinya.
                Kondisi internal yang mempengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang adalah kesehatan tubuh dan bagaimana kemampuan dirinya mengendalikan temperamen. Sedangkan kondisi eskternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya termasuk, teman sepergaulan, anak-anaknya dan kesejahteraan dirinya. Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwanya dalam mencapai kebahagiaan dirinya.
                Sedangkan menurut al-Ghazâlî akhlak adalah keadaan batin yang menjadi sumber lahirnya suatu perbuatan di mana perbuatan itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi. Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Selain itu, berdasarkan pandangan teologis, dia menolak gagasan kausalitas dalam tindakan etis. Dia tidak dapat membenarkan hubungan kausal antara sanksi dan pahala karena tidak bersifat rasional. Dari pemahaman dasar ini, dia menyatakan bahwa kebaikan dan kejahatan hanya dapat diketahui melalui wahyu dan menolak bahwa perintah-perintah Tuhan dalam al-Qur`ân memiliki tujuantertentu.
                Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya. Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan.
                Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika orang yang berakhlak baik secara spontan melakukan kebaikan, Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka.. Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman. Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya.
                Seseorang dapat menjadi pemimpin (al-imâm) dari orang banyak manakala ia memiliki
(a)  kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi
(b)  memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan
(c)    memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif
bijaksana.
Secara sosial seorang pemimpin adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya.
Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakekatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid al-qawmi khâdimuhum). Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.
Dampak dari keputusan seorang pemimpin akan sangat besar implikasinya pada rakyat yang dipimpin. Jika keputusannya tepat maka kebaikan akan merata kepada rakyatnya, tetapi jika keliru maka rakyat banyak akan menanggung derita karenanya. Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut oleh Nabi dengan sebutan pemimpin yang adil (imâmun `âdil) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur`ân, dan juga al-Hadîst, sebagai pemimpin yang zalim (imâmun zhâlim). Adil artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, sedangkan sebaliknya zalim artinya menempatkansesuatutidakpada-tempatnya.
Kisah dalam al-Qur`ân yang menyebut Nabi (Raja) Sulaiman yang memperhatikan suara semut mengandung pelajaran bahwa betapa pun seseorang menjadi pemimpin besar dari negeri besar, tetapi ia tidak boleh melupakan kepada rakyat kecil yang dimisalkan semut itu (Q/27:16). Meneladani kepemimpinan Rasulullah, akhlak utama yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah keteladanan yang baik (uswatun hasanah), terutama dalam kehidupan pribadinya, seperti; hidup bersih, sederhana dan mengutamakan orang lain.Ini merupakan sebuah alasan yang menyatakan bahwa al-Ghazâlî dianggap sebagai seorang filsuf walaupun dia tidak suka disebut sebagai seorang filsuf.





BAB III
Penutup

Demikianlah perbandingan filsafat etika Islam antara Ibn Miskawayh dan al-Ghazâlî yang secara umum berbicara mengenai akhlak dari berbagai perspektif. Perbandingan ini pada dasarnya mengelaborasi kepada setiap pembaca agar senantiasa mampu memahami pendidikan akhlak/moral lebih baik dan mampu mengaplikasikannya dalam hidup.
                Akhir dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa etika sosial Islam memiliki peran yang sangat besar bagi perbaikan atas kehidupan umat manusia. Etika sosial Islam mempunyai dua ciri yang sangat mendasar, yaitu keadilan dan kebebasan. Dua ciri ini penting untuk menggerakkan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Perbuatan kita mesti diorientasikan pada tindakan-tindakan yang mengarah pada keadilan dan juga memandang kebebasan mutlak setiap individu. Karena, kebebasan individu ini berimplikasi pada tindakan sosial dan syariat kolektif.
                Sudah semestinya, etika Islam tidak hanya dimaknai sebagai etika individual saja, tapi juga perlu dipahami sebagai ajaran sosial. Kehidupan umat manusia perlu dibangun dengan perspektif agama yang lebih memperdulikan pada persoalan-persoalan kemanusiaan dan keadilan. Jadi, Islam tidak semata diartikan sebagai ritualisasi ibadah dan etika individual semata, tapi juga sebagai agama yang penting untuk memperbaiki kehidupan sosial secara lebih luas.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...