A. TANAMAN
Faktor iklim di dalamnya termasuk suhu udara, sinar
matahari, kelembaban udara dan angin. Unsur-unsur ini sangat berpengaruh
terhadap proses pertumbuhan tanaman. Yang dimaksud dengan ketinggian
tempat adalah ketinggian dari permukaan air laut (elevasi). Ketinggian
tempat mempengaruhi perubahan suhu udara. Semakin tinggi suatu tempat,
misalnya pegunungan, semakin rendah suhu udaranya atau udaranya semakin
dingin. Semakin rendah daerahnya semakin tinggi suhu udaranya atau
udaranya semakin panas. Oleh karena itu ketinggian suatu tempat
berpengaruh terhadap suhu suatu wilayah.
Perbedaan regional dalam
topografi, geografi dan cuaca menyebabkan terjadinya perbedaan dalam
tanaman, pola tanam, metode bercocok tanam dan situasi sosio-ekonomi.
Pola tanam dari beberapa tanaman yang ditanam terus menerus serta
keadaan iklim yang cocok akan meningkatkan dan kompleksnya serangan
hama, penyakit dan gulma.
Tinggi tempat dari permukaan laut
menentukan suhu udara dan intensitas sinar yang diterima oleh tanaman.
Semakin tinggi suatu tempat, semakin rendah suhu tempat tersebut.
Demikian juga intensitas matahari semakin berkurang. Suhu dan penyinaran
inilah yang nantinya akan digunakan untuk menggolongkan tanaman apa
yang sesuai untuk dataran tinggi atau dataran rendah. Ketinggian tempat
dari permukaan laut juga sangat menentukan pembungaan tanaman. Tanaman
berbuahan yang ditanam di dataran rendah berbunga lebih awal
dibandingkan dengan yang ditanam pada dataran tinggi
Faktor
lingkungan akan mempengaruhi proses-proses phisiologi dalam tanaman.
Semua proses phisiologi akan dipengaruhi boleh suhu dan beberapa proses
akan tergantung dari cahaya. Suhu optimum diperlukan tanaman agar dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh tanaman. Suhu yang terlalu tinggi akan
menghambat pertumbuhan tanaman bahkan akan dapat mengakibatkan kematian
bagi tanaman, demikian pula sebaliknya suhu yang terlalu rendah.
Sedangkan cahaya merupakan sumber tenaga bagi tanaman.
Suhu
berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif, induksi bunga, pertumbuhan
dan differensiasi perbungaan (inflorescence), mekar bunga, munculnya
serbuk sari, pembentukan benih dan pemasakan benih. Tanaman tropis tidak
memerlukan keperluan vernalisasi sebelum rangsangan fotoperiode
terhadap pembungaan menjadi efektif. Tetapi, pengaruh suhu terhaadap
induksi bunga cukup kompleks dan bervariasi tergantung pada tanggap
tanaman terhadap fotoperiode yang berbeda. Suhu malam yang tinggi
mencegah atau memperlambat pembungaan dalam beberapa tanaman.
Di
daerah beriklim sedang perbedaan suhu lebih ditentukan oleh derajat
lintang (latitude), Di tropika perbedaan ini lebih ditentukan oleh
tinggi tempat (altitude). Ditinjau dari sudut pertumbuhan tanaman,
Junghuhn (1853) dalam membagi daerah pertanaman di pulau Jawa menjadi 4
zone.
1. Zone I 0 – 600 m dari permukaan laut
2. Zone II 600 – 1.350 m
3. Zone III 350 – 2.250 m, dan
4. Zone IV 2.250 – 3.000 m.
Sedangkan
Wellman (1972) membuat pembagian yang dihubungkan dengan ekologi
patogen tanaman dan ternyata cocok untuk tropika Asia yaitu zone I 0-300
meter diatas permuakan laut, zone II 300-500 mdpl, zone III 500-1000
mdpl dan zone IV 1.000-2.000 mdpl.
Berdasarkan ketinggian tempatnya terdapat macam-macam hutan:
• hutan pantai (beach forest)
• hutan dataran rendah (lowland forest)
• hutan pegunungan bawah (sub-montane forest)
• hutan pegunungan atas (montane forest)
• hutan kabut (cloud forest)
• hutan elfin (alpine forest)
Perubahan
suhu tentunya mengakibatkan perbedaan jenis tumbuhan pada
wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan ketinggian tempatnya. Maka
berdasarkan iklim dan ketinggian tempat, flora di Indonesia terdiri
atas:
Hutan hujan tropis
Indonesia berada di daerah katulistiwa,
banyak mendapat sinar matahari, curah hujannya tinggi, dan suhu udaranya
tinggi, menyebabkan banyak terdapat hutan hujan tropik. Ciri-ciri hutan
ini adalah sangat lebat, selalu hijau sepanjang tahun, tidak mengalami
musim gugur, dan jenisnya sangat heterogen. Hutan jenis ini banyak
terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Irian Jaya.
Beberapa jenis floranya misalnya kayu meranti, ulin, dan kapur. Pada
pohon-pohon ini hidup menumpang berbagai tumbuhan seperti anggrek dan
tumbuhan merambat.dan epifit. Tumbuhan merambat yang terkenal adalah
rotan.
Pembagian hutan hujan tropis adalah sebagai berikut.
1. Hutan Hujan Tanah Kering (ketinggian 1000 - 3000 m dari muka laut)
- Hutan nondipterocarpeceal memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu
antara 26°C-21°C.
- Hutan dipterocarpaccoo memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan agathis campuran memiliki ketinggian < 2.500 m dan suhu antara
26°C-13°C.
- Hutan pantai memiliki ketinggian < 5 m dan suhu ± 26°C.
- Hutan belukar memiliki ketinggian < 1.000-2.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan fegacceal memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-28°C.
- Hutan casuarina memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-11°C.
- Hutan penuh memiliki ketinggian antara 700-1.000 m dan suhu antara
23°C-18°C.
- Hutan nothofogus memiliki ketinggian 1.000-3.000 m dan suhu antara
21°C-11°C.
2. Hujan Tanah Rawa (ketinggian 5 - 100 m dari muka laut).
- Rawa air tawar
- Hutan rawa gambut
- Hutan payau (hutan mangrove)
Hutan musim
Hutan
ini terdapat di daerah yang suhu udaranya tinggi (terletak pada
ketinggian antara 800 - 1200 m dari muka laut). Pohon-pohonnya jarang
sehingga sinar matahari sampai ke tanah, tahan kekeringan, dan tingginya
sekitar 12 - 35 m. Daunnya selalu gugur pada musim kering/kemarau dan
menghijau pada musim hujan. Contohnya pohon jati, kapuk, dan angsana.
Hutan musim dapat digolongkan menjadi sebagai berikut.
1. Hutan musim gugur daun
2. Hutan musim selalu hujan
Hutan sabana
Sabana
adalah padang rumput yang disana sini ditumbuhi pepohonan yang
berserakan atau bergerombol. Terdapat di daerah yang mempunyai musim
kering lebih panjang dari musim penghujan, seperti di Nusa Tenggara.
Hutan sabana dapat digolongkan menjadi berikut ini.
1. Hutan sabana pohon dan palma memiliki ketinggian < 900 m dan suhu 22°C.
2. Hutan sabana casuarina memiliki ketinggian antara 1.600 - 2.400 m dan suhu antara 18°C-13°C.
Padang rumput
Terdapat
pada daerah yang mempunyai musim kering panjang dan musim penghujan
pendek, seperti di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Padang rumput dapat
terdapat di daerah dengan ketinggian antara 900 - 4000 m di atas
permukaan laut, seperti misalnya padang rumput tanah, padang rumput
pegunungan, komunitas rumput, dan lumut.
Padang rumput dapat digolongkan menjadi berikut ini.
1. Padang rumput iklim basah
- Padang rumput tanah rendah memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu 26°C-21°C.
- Rawa rumput memiliki ketinggian > 1000 m dan suhu ± 26°C.
- Padang rumput pegunungan memiliki ketinggian antara 1.500 – 2.400 m dan suhu antara 18°C-23°C.
- Padang rumput berawa gunung memiliki ketinggian antara 2.400 – 4000 m dan suhu antara 10°C-18°C.
- Padang rumput Alpin memiliki ketinggian antara 4.000 – 4.500 m (batas salju) dan suhu > 6°C.
- Komunitas rumput dan lumut memiliki ketinggian > 4.500 m dan suhu < 6°C.
2. Padang rumput iklim kering dengan suhu 22°C.
B. TERNAK
Faktor
lingkungan yang mempengaruhi produksi ternak meliputi lingkungan fisik
(radiasi, suhu udara, kelembaban, kecepatan angin, curah hujan, den
ketinggian tempat), lingkungan biotic (vegetasi, predator, hewan/ternak
lain, bakteri, parasit, dan virus), lingkungan kimiawi (pencemaran dan
peracunan oleh unsure-unsur), dan lingkungan manusia sebagai pengelola.
Semakin
tinggi letak suatu daerah dari atas permukaan laut maka akan semakin
rendah suhu udara rata-rata hariannya. Kroteria dataran rendah ditandai
dengan suhu udara yang tinggi dan tekanan udara maupun oksigen yang
tinggi pula. Diantara faktor iklim, suhu dan kelembaban udara merupakan
faktor terpenting yang mengatur iklim serta adaptasi dan distribusi dari
ternak dan vegetasi. Sebagi contoh, kehidupan ternak sapi diperlukan
suhu optimal diantara 13 sampai 180C dan bila suhu naik diantara 1 –
100C dari suhu optimalnya, ternak akan mengalami depresi. Suhu udara dan
kelembaban tinggi akan menimbulkan stress akibat kenaikan suhu
tubuhnya. Untuk menurunkan suhu tubuhnya yang naik, maka diperlukan
energi tambahan guna mencapai keseimbangan tubuhnya, efisiensi energi
pakan (makanan) menjadi lebih kecil.
Kebutuhan zat makanan pada
ternak dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban, pada suhu dan kelembaban
tinggi,dapat menyebabkan menurunnya konsumsi pakan dan akan disertai
dengan menurunnya daya cerna diikuti kehilangan berat badan dan
menurunnya resistensi terhadap penyakit.
Dengan adanya suhu
lingkungan yang tinggi maupun yang lebih rendah dari suhu tubuhnya, maka
ternak akan berusaha mempertahankan suhu tubuhnya yang konstan. Oleh
karena itu, hewan akan memproduksi panas dalam tubuhnya dan
mengeluarkannya ke sekitar lingkungannya secara terus menerus dan tetap,
sehingga kanaikan atau penurunan suhu 10C dari suhu tubuhnya sudah
cukup menimbulkan pengaruh proses fisiologinya . terganggunya
keseimbangan panas dapat menurunkan produktifitasnya.
C. HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN
Hama
seperti mahluk hidup lainnya perkembangannya dipengaruhi oleh faktor
faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung. Temperatur, kelembaban
udara relatif dan foroperiodisitas berpengaruh langsung terhadap siklus
hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga.
Sebagai contoh hama kutu kebul (Bemisia tabaci) mempunyai suhu optimum
32,5º C untuk pertumbuhan populasinya.
Pengaruh tidak langsung adalah
pengaruh faktor iklim terhadap vigor dan fisiologi tanaman inang, yang
akhirnya mempengaruhi ketahanan tanaman terhadap hama. Temperatur
berpengaruh terhadap sintesis senyawa metabolit sekunder seperti
alkaloid, falvonoid yang berpengaruh terhadap ketahannannya terhadap
hama. Pengaruh tidak langsungnya adalah kaitannya dengan musuh alami
hama baik predator, parasitoid dan patogen.
Dari konsep segitiga
penyakit tampak jelas bahwa iklim sebagai faktor lingkungan fisik sangat
berpengaruh terhadap proses timbulnya penyakit. Pengaruh faktor iklim
terhadap patogen bisa terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya
infeksi), penularan, dan reproduksi patogen. Pengaruh perubahan iklim
akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit.
Perubahan iklim
berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom,
seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen. Setiap tahap dari siklus
hidup patogen, dipengaruhi oleh suhu, dari tunas spora, hingga memasuki
masa pertumbuhan induknya menjadi hingga sporulasi baru dan perpindahan
spora. Terdapat temperatur minimum, maksimum, dan optimum yang berbeda
untuk tiap patogen yang berbeda dan bahkan untuk proses pada beberapa
patogennya. Verticillium dahliae paling aktif menyebabkan kelayuan pada
suhu antara 25-280C, tetapi Verticillium albo-atrum akan mendominasi
pada suhu 20-250C. Karat dini pada tomat dipicu oleh suhu yang hangat
dan sebaliknya.
Bakteri penyebab penyakit kresek pada padi
Xanthomonas oryzae pv. oryzae mempunyai suhu optimum pada 30º C.
Sementara F. oxysporum pada bawang merah mempunyai suhu pertumbuhan
optimum 28-30 º C. Bakteri kresek penularan utamanya adalah melalui
percikan air sehingga hujan yang disertai angin akan memperberat
serangan. Pada temperatur yang lebih hangat periode inkubasi penyakit
layu bakteri (Ralstonia solanacearum ) lebih cepat di banding suhu
rendah. Sebaliknya penyakit hawar daun pada kentang yang disebabkan oleh
cendawan Phytophthora infestans lebih berat bila cuaca sejuk (18-22 º
C) dan lembab. Faktor-faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan
tanaman inang. Tanaman vanili yang stres karena terlalu banyak cahaya
akan rentan terhadap penyakit busuk batang yang disebabkan oleh
Fusarium. Ekspresi gejala beberapa penyakit karena virus tergantung dari
suhu.
D. GULMA
Gulma yang terdapat pada dataran tinggi
relatif berbeda dengan yang tumbuh di daerah dataran rendah. Pada daerah
yang tinggi terlihat adanya kecenderungan bertambahnya keanekaragaman
jenis, sedangkan jumlah individu biasanya tidak begitu besar. Hal yang
sebaliknya terjadi pada daerah rendah yakni jumlah individu sangat
melimpah, tetapi jumlah jenis yang ada tidak begitu banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Hutan. http://id.wikipedia.org/hutan. Diakses pada 26 maret 2009.
Boudreau,
Mark. 2008. Organic Plant Disease Management: the Environment.
http://www.extension.org/main/partners. Diakses pada 23 maret 2009.
D.F.
Warnock , W.M. Randle dan O.M. Lindstrom, Jr. 1993. Photoperiod,
Temperature, and Plant Age Interact to Affect Short-day Onion Cold
Hardiness. hortscience, Georgia. (http://www.google.co.id. Diakses pada
23 maret 2009.)
Kadarsih, Siwitri. 2004. Performans Sapi Bali
Berdasarkan Ketinggian Tempat di Daerah Transmigrasi Bengkulu: I.
Performans Pertumbuhan. Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia vol. 6, No.
1. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23 maret 2009.)
Muawin,
Heru A. 2009. Hubungan Suhu Bagi Pertumbuhan Tanaman.
http://herumuawin.blogspot.com/2009/03/
hubungan-suhu-bagi-pertumbuhan-tanaman/. Diakses pada 26 maret 2009
Tim
MGMP. 2008. Lingkungan Kehidupan di Muka Bumi.
http://mgmpgeok.blogspot.com/2008/10/lingkungan-kehidupan-di-muka-bumi.html.
Diakses pada 23 maret 2009.
Wiyono, Suryo. 2007. Perubahan Iklim
dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. IPB, Bogor.
(http://www.google.co.id. Diakses pada 23 maret 2009.)
Zahara,
Hafni dan Lenny Hartati Harahap. Identifikasi Jenis Cendawan Pada
Tanaman Cabai (Capsicum annum) Pada Topografi Yang Berbeda. Balai Besar
Karantina Tumbuhan, Belawan. (http://www.google.co.id. Diakses pada 23
maret 2009.)
No comments:
Post a Comment