Thursday 14 June 2012

KARAKTER FENOTIPIK DAN NILAI EKONOMI MATOA (Pometia pinnata J. R & G. Forst.) DI PAPUA

KARAKTER FENOTIPIK DAN NILAI EKONOMI MATOA (Pometia pinnata J. R & G. Forst.) DI PAPUA

BAB I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Matoa (Pometia pinnata Frost) merupakan salah satu pohon penghasil buah asli Papua. Buah matoa mempunyai citarasa yang khas dengan bentuk buah yang mirip buah lengkeng sehingga matoa dikenal masyarakat luar Papua sebagai lengkeng Papua. Dengan keunggulan citarasanya tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI No. 160/Kpts/SR.120/3/2006, matoa Papua telah ditetapkan sebagai varitas buah unggul yang patut dibudidayakan.
Meskipun dikenal memiliki citarasa yang khas dan harganya cukup mahal sejauh ini matoa belum dibudidayakan secara intensif. Buah yang diperjualbelikan di pasar lokal berasal dari pohon yang tumbuh secara alami di kebun masyarakat atau kawasan hutan sehingga ketersediaannya terbatas dengan kualitas buah yang beragam. Apalagi sebagian masyarakat memanen buah matoa dengan menebang pohonnya sehingga dari waktu ke waktu ketersediaan pohon penghasil buah semakin berkurang. Di lain pihak, kelezatan buah matoa yang khas semakin banyak peminatnya, bahkan sampai ke luar daerah Papua. Semakin tersedianya sarana transportasi antar pulau semakin memudahkan distribusi buah matoa ke luar Papua. Memperhatikan berbagai hal tersebut buah matoa dinilai cukup potensial untuk dikembangkan dan dibudidayakan sebagai buah unggulan lokal Papua. Selain menyediakan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat, budidaya juga akan menunjang kelestarian pohon matoa.
1. 2. Perumusan Masalah
Budidaya matoa dinilai berhasil bila pohon yang ditanam tumbuh dan berbuah secara maksimal dengan kualitas buah yang maksimal pula. Untuk mencapai hal tersebut maka bibit yang ditanam harus berasal dari induk yang produktif dengan karakteristik buah unggul, ditanam di lokasi dengan kondisi lingkungan yang sesuai syarat tumbuhnya, dan diberi perlakuan yang memadai sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan berproduksinya. Secara umum dikatakan bahwa fenotip suatu individu tanaman ditentukan oleh sifat genotip dan lingkungan tumbuhnya. Teori Toleransi Good menyatakan bahwa setiap spesies tanaman hanya dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran kondisi lingkungan tertentu, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis (Barbour, Burk, dan Pitts, 1980). Perlakuan dimaksudkan untuk memanipulasi kondisi lingkungan dan mengarahkan proses fisiologis tanaman sehingga optimal bagi pertumbuhan dan perkembangannya agar dapat tumbuh dan berproduksi secara maksimal
Pengembangan matoa sebagai komoditas buah unggulan lokal akan berperan positif bagi ekonomi masyarakat bila kegiatan tersebut melibatkan masyarakat secara aktif, yaitu masyarakat sebagai pelaku utama pembudidayaan matoa di lahan mereka. Pengembangan matoa oleh masyarakat akan berhasil bila teknik budidaya yang dikembangkan dapat mereka terapkan. Oleh karena itu teknik budidaya yang dikembangkan harus sesuai dengan nilai dan kapasitas teknologi masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan pengkajian tentang ekologi tempat tumbuh matoa, karakter fenotipik matoa pada berbagai kondisi lingkungan tumbuh dan tipe buah yang dihasilkan, nilai ekonomi matoa bagi masyarakat, dan teknik budidaya matoa yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Berdasarkan informasi tersebut dapat ditentukan jenis matoa unggul, tempat penanaman dengan lingkungan tumbuh yang sesuai dengan syarat tumbuhnya, dan mendesain teknik budidaya yang lebih baik serta dapat diterima dan diterapkan oleh masyarakat.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mempelajari ekologi tempat tumbuh matoa
2. Mempelajari hubungan karakter fenotipik pohon matoa dengan tipe buah yang dihasilkan,
3. Mempelajari nilai sosial dan nilai ekonomi matoa bagi masyarakat,
4. Mempelajari pengetahuan dan teknologi masyarakat dalam budidaya matoa.
1.4. Urgensi Penelitian
Matoa (Pometia pinnata Frost) sebagai jenis pohon buah lokal Papua merupakan sumberdaya potensial yang harus dilestarikan dan ditingkatkan nilai manfaatnya bagi kesejahteraan masyarakat. Meskipun matoa sudah memberi kontribusi terhadap pendapatan masyarakat, namun kontribusi tersebut masih sangat kecil karena sejauh ini sebagian besar matoa yang dihasilkan berasal dari pohon yang tumbuh secara alami dengan pengelolaan yang masih sangat minimal. Untuk meningkatkan peran matoa dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mempromosikan matoa sebagai buah unggulan Papua diperlukan upaya pembudidayaan matoa secara intensif sehingga pohon yang ditanam produktif dengan buah yang berkualitas.
Keberhasilan pengembangan suatu komoditas tanaman dipengaruhi oleh aspek ekologi tanaman yang dibudidayakan dan aspek sosial ekonomi pelakunya. Pohon matoa mempunyai range penyebaran yang cukup luas. Selain di Papua dilaporkan jenis pohon ini juga berhasil dikembangkan di beberapa daerah di luar Papua. Di Papua sendiri matoa terutama menyebar di seluruh wilayah bagian utara, namun pohon matoa yang produktif dengan buah yang berkualitas hanya dijumpai di daerah Jayapura. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun dapat tumbuh pada kisaran kondisi lingkungan yang cukup luas tetapi untuk dapat produktif berbuah dengan buah yang berkualitas pohon matoa membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik.
Masyarakat Papua sudah berinteraksi dan memanfaatkan pohon matoa secara turun-temurun. Selama proses interaksi dan pemanfaatan tersebut tentunya telah menumbuhkan pemahaman masyarakat terhadap berbagai aspek ekologi, pertumbuhan, dan tata cara pemanfaatan matoa. Agar teknik budidaya yang dikembangkan sesuai dengan nilai dan kapasitas pengetahuan masyarakat untuk menerapkannya maka teknik yang dikembangkan harus didasarkan pada nilai dan pemahaman tradisional masyarakat. Berkaitan dengan hal-hal tersebut guna menunjang keberhasilan pengembangan matoa sebagai buah unggulan lokal dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku utamanya maka perlu dilakukan kajian tentang ekologi lingkungan pertumbuhan pohon matoa dan nilai sosial, ekonomi, dan pengetahuan lokal masyarakat dalam budidaya matoa.
1.5. Luaran Penelitian
Hasil penelitian berupa informasi mengenai ekologi tempat tumbuh matoa, karakter fenotipfik pohon dan hubungannya dengan jenis buah yang dihasilkan, nilai ekonomi matoa bagi masyarakat, serta pengetahuan dan teknologi masyarakat dalam budidaya matoa. Informasi tersebut selanjutknya digunakan sebagai dasar untuk mendesain teknologi tepat guna budidaya matoa yang mampu meningkatkan produktifitas dan kualitas buah yang dihasilkan serta sesuai dengan kapasitas masyarakat untuk menerapkannya. Hasil penelitian juga akan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Risalah Umum Matoa
Botanis dan Penyebaran
Matoa (Pometia sp) merupakan tumbuhan daerah tropis yang banyak terdapat di hutan-hutan pedalaman Pulau Irian (sekarang Papua). Secara umum diketahui terdapat 3 spesies pometia, yaitu P. pinnata, P. coreaceae, dan P. accuminata. Secara taksonomis klasifikasi matoa adalah :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Sapindales
Familia : Sapindaceae
Genus : Pometia
Species : Pometia pinnata J.R & G. Forst, Pometia acuminata, dan Pometia coreaceae.
.Dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Matoa. Di tempat lain matoa dikenal dengan berbagai nama, yaitu Kasai (Kalimantan Utara, Malaysia, Indonesia), Malugai (Philipina), dan Taun (Papua New Guinea). Sedangkan nama daerah adalah Kasai, Kongkir, Kungkil, Ganggo, Lauteneng, Pakam (Sumatera); Galunggung, Jampango, Kasei, Landur (Kalimantan); Kase, Landung, Nautu, Tawa, Wusel (Sulawesi); Jagir, Leungsir, Sapen (Jawa); Hatobu, Matoa, Motoa, Loto, Ngaa, Tawan (Maluku); Iseh, Kauna, Keba, Maa, Muni, (Nusa Tenggara); Ihi, Mendek, Mohui, Senai, Tawa, Tawang (Papua).
Daerah Penyebaran
Di Indonesia matoa (Pometia spp.) tumbuh menyebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Maluku, dan Papua (Sudarmono, 2001). Daerah penyebaran matoa di Papua antara lain di Dataran Sekoli (Jayapura), Wandoswaar – P. Meoswaar, Anjai – Kebar, Warmare, Armina, Bintuni, Ransiki (Manokwari), dan lain-lain. Tumbuh pada tanah yang kadang-kadang tergenang air tawar, pada tanah berpasir, berlempung, berkarang dan berbatu cadas. Keadaan lapangan datar, bergelombang ringan – berat dengan lereng landai sampai curam pada ketinggian sampai 120 m di atas permukaan air laut (Dinas Kehutanan DATI I Irian Jaya, 1976)
Habitus
Matoa merupakan tumbuhan berbentuk pohon dengan tinggi 20 – 40 m, dan ukuran diameter batang dapat mencapai 1,8 meter. Batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih-putihan, permukaan kasar. Bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang rindang, percabangan simpodial, arah cabang miring hingga datar. Akar tunggang, coklat kotor.
Matoa berdaun majemuk, tersusun berseling, 4 – 12 pasang anak daun. Saat muda daunnya berwarna merah cerah, setelah dewasa menjadi hijau, bentuk jorong, panjang 30 – 40 cm, lebar 8 – 15 cm. Helaian daun tebal dan kaku, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus), tepi rata. Pertulangan daun menyirip (pinnate) dengan permukaan atas dan bawah halus, berlekuk pada bagian pertulangan.
Bunga majemuk, bentuk corong, di ujung batang. Tangkai bunga bulat, pendek, hijau, dengan kelopak berambut, hijau. Benang sari pendek, jumlah banyak, putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih dengan mahkota terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita, kuning.
Buah bulat atau lonjong sepanjang 5 – 6 cm, berwarna hijau kadang merah atau hitam (tergantung varietas). Daging buah lembek, berwarna putih kekuningan. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-hitaman.
Perbanyakan
Matoa pada umumnya dikembangbiakkan melalui biji (generatif). Biji matoa cepat kehilangan viabilitas setelah terpapar udara luar. Benih matoa tidak memiliki sifat dormansi dan akan segera mati beberapa hari setelah dikeluarkan dari buahnya atau jika dibiarkan terbuka (Widarsih, 1997 dalam Nurmiaty, 2006). Selama penyimpanan terbuka benih matoa mengalami pengeringan alami yang merupakan salah satu ciri benih rekalsitran, yaitu benih yang menghendaki penyimpanan dengan kadar air dan kelembaban tinggi sehingga benih tetap lembab dan enzim-enzimnya tetap aktif. Hasil penelitian Widarsih (1997) dalam Nurmiaty (2006) menyimpulkan bahwa penyimpanan secara alami (terbuka) menurunkan viabilitas benih yang ditunjukkan dengan menurunnya daya berkecambah, tinggi bibit, dan pertambahan tinggi. Penyimpanan secara alami selama 6 hari menurunkan daya berkecambah dari 72 % menjadi 19 %.
Matoa juga dapat dikembangbiakkan secara vegetatif seperti cangkok, okulasi hingga teknik kultur jaringan. Untuk memperoleh jumlah bibit dalam jumlah banyak dan seragam serta untuk perbaikan sifat tanaman di masa mendatang, telah dilakukan penelitian perbanyakan tanaman dengan menggunakan teknik kultur jaringan. Hasil penelitian Sudarmonowati, Bachtiar, dan A.S. Yunita (1995), menunjukkan bahwa kultur biji muda dan embrio matoa dapat tumbuh pada media MS yang mengandung kombinasi 4,0 mg/L BAP dan 0,5 mg/L NAA sehingga akan sangat bermanfaat dalam program konservasi karena biji muda dapat diselamatkan sebelum terserang hama. Pada kultur tunas samping, perpanjangan tunas terhambat karena pengkalusan, sedangkan kultur anter dapat menghasilkan embrioid dalam jumlah banyak
Pemanfaatan
Secara tradisional buah dan biji matoa oleh suku Genyem, Sentani, Amumen, Ekari dan Ayamaru dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Buah yang dapat dimakan adalah varietas kelapa, papeda, dan kenari. Biji matoa dapat dimakan setelah diolah. Kayunya dimanfaatkan untuk bahan bangunan (rumah dan jembatan), mebel, ukir-ukiran dan alat pertanian (Sumiasri, Kuswara, dan Setyowati-Indarto, 2000).
Biji, buah dan daun matoa (Pometia pinnata J.R & G. Forst.) mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Biji matoa berkhasiat untuk tonikum. Kulit batang matoa kemungkinan mempunyai sifat penghambat pertumbuhan bakteri. Hasil penelitian Praptiwi dan Mindarti (2004) menunjukkan bahwa pemisahan ekstrak etil asetat kulit batang matoa dengan kolom kromatografi menghasilkan 12 fraksi yang mempunyai daya hambat terhadap 3 isolat bakteri uji yaitu Pseudomonas pseudommallei, Staphylococcus epidermidis dan Bacillus subtilis. Fraksi ke 10 mempunyai daya hambat pertumbuhan terbesar (21 mm) terhadap P. pseudomallei.
2. 2. Ekologi Tempat Tumbuh Tanaman
Setiap jenis tanaman membutuhkan lingkungan tumbuh tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang. Hukum Minimum Liebig menyatakan bahwa pertumbuhan dan/atau penyebaran suatu spesies tanaman tergantung pada satu faktor lingkungan kritis yang sangat dibutuhkan. Teori tersebut selanjutnya disempurnakan oleh Ronald Good menjadi Teori Toleransi yang menyatakan bahwa 1) setiap spesies tanaman hanya dapat hidup dan berkembang biak pada kisaran kondisi lingkungan tertentu; 2) kondisi lingkungan yang berpengaruh adalah iklim, tanah, dan biologis; 3) kisaran toleransi dapat luas untuk suatu faktor tetapi sempit untuk faktor yang lain, dan kisaran toleransi tersebut dapat berubah sesuai dengan tingkat pertumbuhan tanaman, 4) kisaran toleransi suatu tanaman tidak dapat dinilai berdasarkan kenampakan morfologis, tetapi berkaitan dengan proses fisiologi yang hanya dapat diuji melalui eksperimen, 5) kisaran toleransi dapat berubah melalui proses evolusi, 6) penyebaran relatif suatu spesies dengan toleransi dan faktor lingkungan yang sama ditentukan oleh hasil kompetisi (atau interaksi biologis lain) antar spesies (Barbour, Burk, dan Pitts, 1980).
Variasi kondisi lingkungan tumbuh dan perbedaan kemampuan spesies tanaman untuk beradaptasi dengan berbagai kondisi lingkungan mengakibatkan terjadinya zona-zona penyebaran tanaman sesuai dengan perubahan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap perbedaan tempat tumbuh. Semakin besar kemampuan suatu jenis tanaman beradaptasi terhadap perbedaan lingkungan tumbuh akan semakin luas penyebaran tumbuhnya, dan sebaliknya, semakin kecil kemampuan suatu jenis tanaman untuk beradaptasi mengakibatkan penyebarannya hanya terbatas pada habitat tertentu saja.
Faktor lingkungan sebagai pembatas utama pertumbuhan dan perkembangbiakan tanaman adalah ilkim, tanah dan biologis. Faktor ilkim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah intensitas dan distribusi curah hujan, suhu, dan cahaya. Sedang faktor tanah yang berpengaruh adalah ketinggian tempat dan jenis tanah. Faktor biologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman berkaitan dengan berbagai bentuk interaksi antara individu tamaman dengan individu tanaman yang lain maupun dengan berbagai satwa.
Kemampuan beradaptasi suatu jenis tanaman terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang sesuai dengan lingkungan tumbuh aslinya sampai batas-batas tertentu akan menimbulkan perubahan baik pada pola pertumbuhan maupun perkembangbiakannya. Perubahan pola pertumbuhan tanaman pada lingkungan tumbuh yang berbeda dapat terjadi pada laju pertumbuhan maupun penampilan morfologi tanaman (bentuk, ukuran, warna). Pada pola perkembangbiakan, perbedaan lingkungan tumbuh akan menyebabkan terjadinya perbedaan masa berbunga dan berbuah, produktifitas buah dan viabilitas biji, atau bahkan ketidakmampuan untuk berbuah meskipun berbunga (bunganya infertil).
2. 3. Pengetahuan Lokal Masyarakat
Sejak dilahirkan manusia hidup di dalam suatu lingkungan tertentu yang menjadi wadah bagi kehidupannya. Lingkungan tersebut merupakan keseluruhan kondisi maupun benda yang ditempati manusia dan yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia (Soekanto, 1984). Lebih lanjut dikatakan bahwa antara manusia dengan lingkungannya terdapat suatu hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi sehingga membentuk suatu sistem yang dinamakan ekosistem. Dalam proses hubungan timbal balik (interaksi) antara manusia dan lingkungannya manusia adalah komponen yang aktif melakukan aksi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya.
Pemahaman terhadap dampak yang diterima atas aksi atau tindakan yang dilakukan terhadap komponen-komponen lingkungannya selama proses interaksi dengan lingkungannya akan menumbuhkan pengertian tentang perilaku-perilaku mana yang disukai dan yang tidak disukai oleh masyarakatnya serta tindakan-tindakan mana terhadap komponen lingkungan yang berdampak positip ataupun negatif bagi diri dan masyarakatnya. Dari pemahaman ini akan terbentuk kecenderungan untuk terus mengulangi perilaku ataupun tindakan yang berdampak menguntungkan bagi diri dan lingkungannya, dan sebaliknya menolak untuk melakukan perilaku ataupun tindakan yang merugikan. Kecenderungan tersebut selanjutnya berkembang menjadi kebiasaan dan melembaga dalam masyarakat sehingga menjadi nilai, yaitu ukuran terhadap apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang sepantasnya dilakukan dan apa yang tidak pantas (Taneko, 1984), yang dianut oleh masyarakat tersebut.
Dengan kedekatan hubungan dan pemahaman terhadap fungsi dan peran alam lingkungannya bagi kelangsungan hidupnya, masyarakat mengembangkan teknik dan pendekatan yang unik dalam pengelolaan maupun pemanfaatan sumberdaya alamnya. Teknik dan pendekatan tersebut pada awalnya dikembangkan sebagai strategi dalam upaya untuk mempertahankan diri dari perilaku alam dan respon alam terhadap perlakuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan. Teknik dan pendekatan tersebut selanjutnya terus dikembangkan dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga menjadi suatu kearifan lokal mereka.
Kearifan lokal menunjukkan pemahaman masyarakat terhadap fungsi dan peran tiap komponen lingkungan alamnya (ekosistemnya) bagi kehidupan, hubungan saling mempengaruhi antar komponen lingkungan serta dampak dan akibat suatu aksi terhadap komponen lingkungan sebagai hasil kegigihan mereka dalam mempelajari perilaku dan ketentuan alamiah alam. Kearifan lokal juga menujukkan kesadaran bahwa alam bukanlah untuk ditaklukkan, tetapi pengelolaan dan pemanfaannya haruslah dilakukan dengan rasa hormat, serasi dan selaras dengan perilaku dan ketentuan alamiahnya sebagai wujud syukur atas peran dan manfaatnya bagi kehidupan. Kearifan lokal membuktikan betapa eratnya hubungan masyarakat pemilik kearifan tersebut dengan lingkungannya.
2. 4. Budidaya Tanaman
Tanaman merupakan salah satu penghasil bahan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Peningkatan kebutuhan manusia atas berbagai hasil tanaman mengakibatkan ketersediaan dan kemampuan tanaman yang tumbuh secara alami tidak lagi dapat memenuhinya. Untuk mengantisipasi hal tersebut manusia dengan sengaja melakukan budidaya berbagai jenis tanaman yang dapat menghasilkan produk-produk yang dapat digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya.
Dalam budidaya berbagai jenis tanaman tersebut manusia mengharapkan hasil yang lebih banyak dan lebih baik dibanding hasil yang diperoleh dari tanaman yang tumbuh secara alami. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia melakukan berbagai perlakuan terhadap tanaman yang ditanam dan lingkungan tumbuh di tempat menanamnya. Budidaya tanaman merupakan usaha manusia untuk memaksimalkan pertumbuhan dan hasil yang diinginkan dari suatu jenis tanaman melalui berbagai perlakuan pada baik pada tanaman yang ditanam maupun pada lingkungan tumbuh tempat penanamannya menggunakan teknik dan sumberdaya yang dikuasainya. Perlakuan pada tanaman dimaksudkan agar tanaman yang ditanam cepat tumbuh dan berproduksi, dimulai dari persiapan benih, pemeliharaan tanaman, sampai perlakuan hasil pasca panen. Sedang perlakuan pada lingkungan tumbuh dimaksudkan untuk menyediakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan tanaman melalui pengolahan tanah untuk menyiapkan tempat pertumbuhan perakaran, meningkatkan keharaan tanah, dan mengurangi terjadinya persaingan dengan tanaman lain maupun hama dan penyakit.

BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 1 (satu) bulan di Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Jayapura.
3. 2. Objek dan Alat Penelitian
Objek penelitian adalah pohon matoa dewasa yang dipilih secara proposif di berbagi kondisi lingkungan tumbuh dan masyarakat pemilik pohon.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi pita diameter, haga meter, roll meter, mikrokaliper, mistar, GPS, altimeter, kamera digital, timbangan analitik, daftar kuesioner, dan tally sheet.
3.3. Metode penelitian
Penelitian dilakukan menggunakan metode deskriptif dengan teknik obervasi.
3.4. Variabel dan Data
Ekologi Tempat Tumbuh
a. Titik koordinat dan ketinggian tempat tumbuh pohon (GPS, altimeter)
b. Topografi (datar, landai, curam)
c. Struktur tanah, (liat, berpasir, berbatu);
d. Warna tanah
e. Drainase (becek, basah, kering, kadang-kadang tergenang)
f. Intensitas cahaya (pohon ternaungi atau tidak)
g. Intensitas dan distribusi curah hujan (data iklim dari BMKG)
h. Jenis tanaman lain yang tumbuh bersama
Karakter Fenotif Pohon Matoa
a. diameter setinggi dada, diukur dengan pita diameter
b. tinggi total dan tinggi bebas cabang, diukur dengan hagameter
c. diameter tajuk, diukur diameter proyeksi tegak lurus tajuk ke tanah. Pada tiap pohon pengukuran dilakukan dua kali pada jarak terjauh dan terdekat lalu dirata-ratakan.
d. Bentuk tajuk, dengan mengamati kecenderungan bentuk tajuk (bulat, kerucut, tidak teratur), dan percabangan (sudut cabang, susunan cabang).
e. Bentuk batang (silindris, terpuntir, dll)
f. Tekstur kulit batang (halus, bersisik, beralur, dll)
g. Warna kulit batang
h. Akar banir, meliputi bentuk dan ukuran.
i. Jumlah helai daun
j. Kedudukan, ukuran panjang dan lebar daun
k. Warna dan tekstur kedua permukaan daun (atas dan bawah), pada daun muda dan tua
l. Bentuk tulang daun
m. Ukuran pteolus
n. Warna, bentuk dan ukuran (panjang dan diameter) tangkai daun
o. Periode musim berbunga dan berbuah (wawancara dengan pemilik pohon)
Karakter Buah Matoa
a. Bentuk buah, diamati secara visual.
b. Diameter buah (cm), diukur melingkar di bagian tengah buah menggunakan mikrokaliper
c. Panjang buah (cm), diukur secara horisontal dari pangkal hingga ujung buah menggunakan mikrokaliper
d. Berat buah (g), dilakukan secara gravimetri menggunakan timbangan
e. Warna dominan kulit buah, diamati secara visual terhadap warna dasar pada kulit buah.
f. Warna sekunder kulit buah, diamati secara visual terhadap warna sekunder (bercak) yang terdapat pada buah.
g. Sifat kelengketan daging buah dengan biji, diamati secara manual dengan melepaskan daging buah dari bijinya.
h. Warna biji dan daging buah, diamati secara visual
i. Berat biji (g), dilakukan secara gravimetri setelah biji dihilangkan daging buahnya.
j. Berat kulit (g), dilakukan dsecara gravimetri setelah kulit dipisahkan dari buah
k. Bagian yang dapat dimakan (%), dilakukan dengan membandingkan berat daging buah dengan berat buah total
l. Jumlah buah per kg, dilakukan dengan mengambil secara acak buah matoa yang telah dipersiapkan sebelumnya dan selanjutnya ditimbang lalu dihitung jumlah buahnya per kg
m. Rasa buah. Diuji dengan mengevaluasi hasil pengujian dari 15 panelis yang dipilih secara acak
n. Ketebalan daging buah, diukur dengan mengurangi diameter buah tanpa kulit dengan diameter biji
Hama Penyakit Pohon dan Buah Matoa
Pengamatan hama dan penyakit pohon matoa dilakukan secara deskriptif pada pohon yang mengalami gejala dan tanda serangan hama dan penyakit. Pada setiap pohon terpilih dilakukan pengamatan bagian yang terserang, agen perusak, dan bentuk kerusakan yang ditimbulkan.
Teknik Budidaya Tradisional Masyarakat
a. Tata cara penanaman, meliputi asal bibit dan perlakuan pada bibit, persiapan dan waktu penanaman, cara menanam,
b. Pemeliharaan pohon, meliputi bentuk kegiatan dan waktu pelaksanaannya.
c. Pemanenan dan pengelolaan buah pasca panen, meliputi tata cara pemanenan dan perlakuan buah setelah dipanen sampai dipasarkan
d. Pola pertumbuhan pohon matoa, meliputi laju pertumbuhan diameter dan tinggi batang, dan perkembangan tajuk

Nilai Ekonomi Pohon Matoa
a. Bagian pohon yang dimanfaatkan,
b. Kegunaan dan cara pemanfaatan,
c. Volume dan periode pemanfaatan
3.5. Identifikasi Warna
Warna kulit batang, daun, dan buah dideskripsikan berdasarkan Munsell Soil Color Chart (Revised washable edition, 2000). Warna suatu objek dinilai secara tiga dimensi sebagai kombinasi dari semua warna yang dikenal sebagai hue, value dan chroma. Notasi hue suatu warna mengindikasikan hubungan warna tersebut dengan warna merah (red), kuning (yellow), hijau (green), biru (blue), dan ungu (purple). Notasi value mengindikasikan kecerahan warna, dan notasi chroma mengindikasikan kekuatan suatu warna (dari netral pada kecerahan yang sama).
Notasi warna Munsell terdiri atas notasi terpisah untuk hue, value dan chroma, yang dikombinasikan dalam suatu susunan yang menunjukkan suatu warna tertentu. Simbol hue adalah singkatan huruf dari warna pelangi (R untuk red, YR untuk Yellow Red, Y untuk Yellow) yang didahului angka dari 0 sampai 10. Dalam setiap range huruf, hue menjadi lebih Yellow (kuning) dan kurang Red (merah) dengan semakin besarnya nilai angka. Pertengahan range huruf pada angka 5. Titik 0 suatu hue bersentuhan dengan angka 10 pada sisi hue yang lebih merah berikutnya. Sebagai contoh, hue 5YR adalah berada di antara Yellow-Red, yang berkembang dari 10 R (0 YR) ke 10 YR (0 Y).
Notasi value terdiri dari angka mulai dari 0 untuk hitam absolut sampai 10 untuk putih absolut. Dengan demikian warna dengan value 5/ secara visual adalah pertengahan antara putih absolut dan hitam absolut. Value 6/ adalah sedikit kurang gelap, 60% dari hitam ke putih, dan pertengahan antara value 5/ dan 7/. Notasi chroma terdiri dari angka mulai dari 0 untuk gray (abu-abu) netral, dan meningkat dengan interval yang sama sampai maksimum 20.

3.6. Analisis Data
Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan tabulasi. Hubungan karakter fenotif suatu pohon dengan tipe buah yang dihasilkan dinilai berdasarkan keeratan korelasi antara nilai kuantitatif suatu parameter fenotif pohon dengan tipe buah yang dihasilkan.

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Ekologi Tempat Tumbuh
Kondisi umum tanah tempat tumbuh matoa di daerah Manokwari dan Jayapura disajikan pada Tabel.
Tabel 1. Kondisi ekologis tempat tumbuh matoa di Manokwari dan Jayapura
Kondisi Tempat Tumbuh Manokwari Jayapura
Ketinggian tempat (m dpl) 2 - 153 73 - 156
Topografi Datar - Curam Datar - Landai
Teksktur tanah Berlempung – Berpasir, berkarang, berbatu Lempung – Pasir berlempung
Warna tanah Coklat – Coklat kemerahan Coklat – Coklat kemerahan
Drainase Baik - Buruk Baik - Buruk
Intensitas cahaya (%) 70 - 100 70 - 100

Tabel 1 menunjukkan bahwa baik di Manokwari maupun di Jayapura pohon matoa umumnya tumbuh pada daerah dengan ketinggian 2 sampai 156 m di atas permukaan air laut. Tetapi matoa juga ditemukan tumbuh pada ketinggian 460 m dpl. Pohon matoa dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, mulai dari berlempung sampai berpasir, berbatu, dan berkarang dengan drainase baik sampai buruk (kadang tergenang). Topografi tempat tumbuh matoa bervariasi dari datar, bergelombang, maupun pada daerah berlereng dengan kelerengan landai sampai curam. Beberapa pohon tumbuh di tepi sungai atau danau yang tanahnya selalu lembab, dan di pinggir jurang.
Matoa membutuhkan cahaya. Intensitas cahaya yang mengenai pohon matoa berkisar antara 70 – 100%. Penaungan oleh pohon tetangga umumnya dari arah samping dengan intensitas tidak lebih dari 30%. Secara alami matoa biasanya tumbuh soliter sebagai pohon dominan atau kodominan di hutan-hutan sekunder, berasosiasi dengan pohon Calophyllum inophyllum, Palaquium amboinensis, Octomeles sumatrana, dan Alstonia scholaris. Sebagai tanaman budidaya matoa umumnya ditanam di pekarangan atau kebun, berdampingan dengan berbagai tanaman buah-buahan dan tanaman budidaya lain seperti durian, nangka, mangga, rambutan, jambu, pisang, dan kakao.
Curah hujan bulanan dan tahunan serta suhu bulanan dan tahunan tempat tumbuh matoa disajikan pada histogram Gambar 1 sampai 4.



Gambar 1. Rata-rata curah hujan bulanan tempat tumbuh matoa tahun 2000-2009



Gambar 2. Rata-rata curah hujan tahunan tempat tumbuh matoa tahun 2000-2009

Gambar 3. Rata-rata suhu bulanan tempat tumbuh matoa tahun 2000-2009



Gambar 4. Rata-rata suhu tahunan tempat tumbuh matoa tahun 2000-2009

Pola curah hujan bulanan tempat tumbuh matoa di Papua relatif sama. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari dan Maret, kemudian berangsur-angsur turun dan mencapai titik terendah pada bulan Juli sampai Oktober. Mulai bulan November curah hujan meningkat sampai mencapai puncaknya di bulan Februari. Secara umum daerah Kabupaten Jayapura merupakan daerah terkering sedang Kota Jayapura merupakan daerah terbasah. Dalam satu tahun Kota Jayapura mengalami bulan basah sebanyak 7 bulan, Manokwari 4 bulan, dan Sentani 1 bulan. Bulan kering dalam satu tahun di Kabupaten Jayapura sebanyak 2 bulan, sedang Kota Jayapura dan Manokwari tidak pernah mengalami bulan kering.
Dalam sepuluh tahun terakhir curah hujan tahunan di Kabupaten Jayapura, Jayapura Kota dan Manokwari cenderung befluktuasi. Pada awal dekade terakhir (2000 dan 2001) curah hujan tahunan tinggi, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahun 2003/2004. Tahun 2005 curah hujan meningkat drastis, tetapi berangsur-angsur turun di tahun-tahun berikutnya sampai tahun 2008 dan meningkat lagi pada tahun 2009.
Rata-rata suhu bulanan tempat tumbuh matoa relatif stabil sepanjang tahun, berkisar antara 24 – 28 oC. Pada bulan November terjadi perubahan pola suhu udara dimana Manokwari mengalami suhu terendah (22 oC) sedang Jayapura mengalami suhu tertinggi (28 oC).
4.2. Karakter Fenotif Pohon Matoa
4.2.1. Habitus
Matoa (Pometia pinnata Forst) termasuk jenis pohon cepat tumbuh dan tergolong bersifat semi toleran. Pada awal pertumbuhannya matoa tahan terhadap penaungan namun semakin dewasa semakin membutuhkan cahaya. Penaungan pada pohon dewasa berpengaruh terhadap perkembangan tajuk, dimana bagian percabangan yang ternaungi terhambat perkembangannya sehingga pertumbuhan tajuk tidak simetris. Dengan daun majemuk berhadapan berselang-seling, anak daun berbentuk jorong, hijau mengkilat dan berlekuk di pertulangannya, pohon matoa mudah dikenali dan dibedakan dari jenis pohon yang lain. Daun muda berwarna kemerahan di ujung ranting merupakan ciri khas pohon matoa yang memudahkan mengidentifikasi pohon ini. Secara ringkas parameter habitus pohon matoa yang tumbuh di Manokwari dan Jayapura disajikan pada Tabel 2.


Tabel 2. Parameter habitus pohon matoa di Manokwari dan Jayapura
Parameter Habitus Manokwari Jayapura
Tinggi total (m) 8 - 22 12 - 25
Tinggi bebas cabang (m) 1,5 - 8 1,5 - 6
Proporsi tinggi tajuk (%) 55,56 – 91,67 60 – 93,6
Diameter batang (cm) 18 - 63 22 - 80
Diameter tajuk (m) 3 - 15 6 - 18
Akar banir Beberapa pohon berbanir Beberapa pohon berbanir

Pohon matoa berperawakan kekar, dapat tumbuh besar dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 80 cm dan tinggi total mencapai 25 m. Umumnya berbatang monopodial, tetapi beberapa pohon dijumpai batangnya bercagak. Batang pohon lurus berbentuk silindris sampai berlekuk. Tinggi bebas cabang berkisar antara 1,5 m sampai 8 m. Pohon matoa tahan pemangkasan, sehingga dapat dilakukan pemangkasan untuk memanipulasi ketinggian pohon dan bentuk tajuk.
Percabangan pohon banyak dengan arah cabang miring hingga datar. Panjang dan kerapatan cabang kelihatannya dipengaruhi oleh kesuburan tanah. Pada tanah subur percabangan matoa membentuk tajuk rapat membulat sampai agak mengerucut. Pada tanah yang kurang subur percabangan pohon tidak teratur membentuk tajuk tipis, ramping dan tidak teratur. Kadang-kadang berbanir kecil. Tidak dijumpai adanya hubungan antara bentuk tajuk maupun ada tidaknya akar banir dengan tipe buah yang dihasilkan, karena baik matoa kelapa maupun matoa papeda tajuknya dapat membulat atau tidak teratur, berakar banir atau juga tidak. Bentuk, ukuran, dan kerapatan tajuk lebih dipengaruhi oleh ada tidaknya naungan dan kesuburan tanah tempat tumbuh. Sedang ada tidaknya akar banir nampaknya dipengaruhi oleh tekstur tanah. Akar banir pohon matoa umumnya dijumpai pada pohon yang tumbuh pada tanah berkarang dengan drainase baik.






















4.2.2. Kulit batang
Kulit batang semua jenis matoa halus pada saat pohon masih muda berwarna abu-abu kehijauan dengan bercak-bercak putih. Semakin dewasa kulit batang semakin bersisik dengan ukuran bervariasi. Sisik pada kulit batang kadang-kadang mengelupas. Warna kulit pohon dewasa bervariasi dari coklat keabuan sampai coklat kemerahan, sedang warna kulit dalam bervariasi dari Light Gray (5Y-7/1) sampai Reddish Brown (5YR-5/4).






Dari berbagai karakter fenotif kulit batang matoa yang diamati, warna kulit bagian luar dan bagian dalam menunjukkan variasi antar pohon yang cukup tinggi sehingga diduga berhubungan dengan tipe buah yang dihasilkan. Pengujian hubungan karakter fenotip warna kulit batang pohon matoa dengan tipe buahnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan warna kulit batang pohon dengan tipe buah matoa di Manokwari dan Jayapura
Lokasi Bagian Kulit Warna Koefisien Korelasi (r) Warna x Tipe Buah
Manokwari Luar Yellowish brown – Dark olive gray 0,11
Dalam Pole yellow – reddish yellow 0,17
Jayapura Luar Yellowish brown – Dark olive gray 0,24
Dalam Pole yellow – reddish yellow 0,04

Hasil pengujjian menunjukkan bahwa warna kulit batang matoa, baik bagian luar maupun bagian dalam, tidak konsisten dengan tipe buah yang dihasilkan. Semua tipe warna kulit pohon dapat terjadi pada semua tipe buah yang dihasilkan sehingga korelasi antara warna kulit pohon dengan tipe buah yang dihasilkan rendah. Dengan demikian warna kulit pohon matoa, baik bagian luar maupun bagian dalam, tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi tipe buah yang dihasilkan.
4.2.3. Daun
Daun matoa merupakan daun majemuk berseling, bersirip genap. Panjang tangkai utama daun dalam satu pohon berrvariasi mulai kurang dari 50 cm sampai lebih dari 1 m. Warna tangkai utama daun bagian atas coklat kehijauan, dan bagian bawah hijau kecoklatan. Semakin tua daun, warna tangkai utama semakin coklat keabu-abuan. Anak daun bervariasi dari 6 hingga 13 pasang. Anak daun berbentuk jorong dengan tepi bergerigi. Anak daun pada pasangan terbawah menyerupai telinga, berbentuk elips.
Daun muda berwarna merah dengan tingkat kemerahan bervariasi dari merah kehijauan sampai merah tua. Daun tua berwarna hijau gelap di bagian atas dan hijau cerah di bagia bawah. Semakin tua warna daun semakin hijau tua. Permukaan daun halus mengkilap, berlekuk di pertulangan daun.
Ukuran daun bervariasi baik antar pohon maupun dalam satu pohon yang sama. Panjang helai daun bervariasi dari 21 – 50 cm, dengan lebar daun bervariasi antara 8 – 19,5 cm. Helai daun tebal dan kaku, ujung meruncing (acuminatus), pangkal tumpul (obtusus). Pertulangan sekunder daun menyirip (pinnate) sebanyak 11 – 25 pasang.
Dari beberapa karakter fenotif daun yang diamati, lebar dan panjang helai daun, rasio panjang/lebar daun, dan panjang pteolus menunjukkan variasi antar pohon yang cukup tinggi sehingga diduga berhubungan dengan tipe buahnya. Hasil pengujian hubungan nilai parameter fenotif daun matoa dengan tipe buah yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hubungan karakter fenotif daun dengan tipe buah matoa di Manokwari dan Jayapura
Lokasi Karakter Daun Ukuran Koefisien Korelasi (r) Fenotip Daun x Tipe Buah
Manokwari Lebar 0,003
Panjang 0,010
Rasio panjang/lebar daun 0,004
Panjang pteolus -0,07
Jayapura Lebar 0,033
Panjang 0,037
Rasio panjang/lebar daun 0,5
Panjang pteolus 0,08

Tabel 4 menunjukkan bahwa meskipun terdapat variasi antar pohon yang cukup tinggi namun tidak terdapat korelasi yang erat antara parameter panjang daun, lebar daun, rasio panjang/lebar daun, dan panjang pteolus pohon matoa dengan tipe buah yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan variai karakter tersebut terjadi pada pohon dengan tipe buah yang sama, sehingga karakter fenotif daun tidak dapat digunakan untuk menentukan tipe buah yang dihasilkan oleh pohon.
4.2.4. Periode berbunga dan berbuah
Pada dasarnya pohon matoa berbuah sepanjang tahun, meskipun tidak selalu banyak. Hal ini dikarenakan setelah buahnya habis cabang matoa akan bertunas dan berbunga kembali. Masa berbuah antar pohon dalam lokasi pertumbuhan yang sama bervariasi. Hal ini terlihat dari adanya pohon yang sedang berbuah, mulai dari beberapa tangkai sampai lebat, tetapi di lokasi yang sama juga ada pohon yang sama sekali tidak berbuah. Namun demikian terdapat dua musim berbuah serentak dalam satu tahun, yaitu bulan Maret dan bulan September. Bulan September merupakan puncak musim matoa di Papua.












Mulai berbunga sampai buahnnya dapat dipanen membutuhkan waktu antara 4 – 5 bulan. Bunga matoa berkelamin ganda, yaitu bunga jantan dan bunga betina bisa berada pada satu pohon yang sama. Penyerbukan silang (cross fertilization) dan penyerbukan sendiri (self fertilization) keduanya dapat terjadi pada satu pohon. Tangkai bunga tumbuh di ujung cabang. Bunganya majemuk, berbentuk corong,. Tangkai bunga bulat, pendek, berwarna hijau, dengan kelopak berambut. Benang sari pendek, banyak, berwarna putih. Putik bertangkai, pangkal membulat, putih dengan mahkota terdiri 3 – 4 helai berbentuk pita kuning.
Masa berbunga pohon matoa tidak berhubungan dengan musim secara klimatik. Namun tinggi rendahnya curah hujan dan sering tidaknya hari hujan tampaknya berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan penyerbukan bunga dan kelebatan buah pohon matoa. Berdasarkan informasi pemilik pohon masa berbuah di bulan September umumnya pohon berbuah lebih lebat dari musim di bulan Maret. Data curah hujan bulanan pada Gambar 1 menunjukkan bahwa curah hujan pada periode masa pembungaan untuk musim berbuah bulan September (Mei – September) lebih rendah dibanding curah hujan bulanan pada periode masa pembungaan untuk musim berbuah bulan Maret (November – Maret). Meskipun tidak berpengaruh terhadap masa pembungaan, tinggi rendahnya curah hujan diduga berkaitan dengan tingkat keberhasilan proses pembuahan bunga. Semakin rendah curah hujan (dan hari hujan), proses pembuahan bunga semakin optimal sehingga buah yang dihasilkan semakin lebat.
4.3. Karakter Fenotip Buah Matoa
Buah matoa berbentuk bulat oval dengan ukuran maupun warna yang beragam. Matoa papeda berukuran kecil dengan diameter 2,2 – 3 cm dan panjang 3 – 4 cm (rasio panjang/diameter 1,31). Kulit buah halus dengan warna saat masak hijau kekuningan, kuning, sampai merah kehitaman. Daging buah lembek, berwarna putih sampai kekuningan, dengan ketebalan bervariasi dari tipis sampai tebal. Buahnya manis dengan aroma yang khas. Daging buah ada yang terkelupas dan ada yang lengket di biji. Bentuk biji bulat, berwarna coklat muda sampai kehitam-hitaman. Buah bergerombol dalam tangkai buah. Tiap tangkai buah berisi 23 - 76 buah dengan berat berkisar antara 0,5 – 1,0 kg.
Matoa kelapa berukuran besar, dengan diameter 2,5 – 3,5 cm dan panjang mencapai 3,4 – 5 cm (rasio panjang/diameter 1,33). Kulit buah halus dengan warna saat masak kuning kehijauan (kelapa kuning) atau merah kekuningan sampai merah kecoklatan (kelapa merah). Dilaporkan ada juga matoa kelapa yang kulitnya tetap berwarna hijau meskipun sudah masak (kelapa hijau), tetapi saat penelitian pohonnya sedang tidak berbuah. Daging buahnya tebal, kenyal, kering, berwarna kekuningan. Rasanya manis, gurih, dan terkelupas dari bijinya. Bijinya lonjong agak gepeng, berwarna kecoklatan. Tiap tangkai buah berisi 16 – 62 buah dengan berat berkisar antara 0,3 – 1,5 kg. Secara ringkas karakteristik buah matoa disajikan pada Tabel 4.















Tabel 5. Rata-rata proporsi berat daging buah, kulit, dan biji buah matoa di Manokwari dan Jayapura
Tipe Buah Proporsi Daging Buah (%) Proporsi Kulit Buah (%) Proporsi Biji (%)
Kelapa merah 48,11 32,30 19,59
Kelapa kuning 45,92 33,16 20,92
Papeda 13,34 29,46 57,20

Tabel 5 menunjukkan bahwa proporsi daging buah yang dapat dikonsumsi dari matoa kelapa hampir mencapai 50% dari berat buah, dan jauh lebih besar dibanding matoa papeda yang hanya 13% dari berat buah. Sebaliknya, proporsi berat biji matoa papeda hampir mencapai 60% berat buah, 3 kali lebih besar dibanding proporsi berat biji matoa kelapa. Hal ini menunjukkan selain daging buahnya tebal, biji matoa kelapa relatif kecil dibanding biji matoa papeda. Proporsi berat kulit buah ketiga tipe buah matoa relatif sama namun kulit buah matoa papeda relatif mudah pecah sehingga tingkat kerusakan buah pada saat pemanenan dan pengangkutan tinggi. Satu jenis matoa papeda di Jayapura dilaporkan buahnya pecah dan terbelah saat masih di pohon begitu mulai masak. Memperhatikan hal-hal tersebut di atas maka tidak mengherankan bila matoa kelapa lebih disukai dibanding matoa papeda.
4.4. Budidaya Matoa
Matoa merupakan jenis pohon yang relatif mudah dibudidayakan dengan range ekologi tempat tumbuh yang luas. Selain dapat diperbanyak secara generatif dengan biji, matoa dapat diperbanyak secara vegetatif dengan mencangkok. Pohon hasil perbanyakan dengan biji mulai berbuah pada umur 4 – 5 tahun, sedang dengan cangkokan sudah mulai berbuah pada umur 2 - 3 tahun.
Sejauh ini penanaman matoa oleh masyarakat umumnya dilakukan dengan menempatkan biji secara langsung di tempat penanaman atau dengan memindahkan anakan yang tumbuh secara alami ke tempat penanaman yang diinginkan. Di Jayapura sebagian besar pohon yang diamati merupakan hasil penanaman. Bahan tanaman umumnya berupa biji, dan hanya satu pohon yang ditanam dengan bahan tanaman cangkokan. Biji yang ditanam dipilih dari jenis matoa kelapa, baik yang berwarna merah maupun kuning. Satu pohon matoa kelapa hijau (pohon No. 2 JPR) dilaporkan benihnya berasal dari PNG. Sebaliknya, di Manokwari sebagian besar pohon yang dijumpai merupakan hasil pertumbuhan alami, dan hanya beberapa pohon yang berasal dari hasil penanaman. Seluruh pohon matoa hasil penanaman di Manokwari ditanam dengan biji yang berasal dari Jayapura.
Pemeliharaan tanaman belum lazim dilakukan. Perlakuan pemeliharaan biasanya hanya dilakukan dengan membersihkan gulma di sekitar anakan pada waktu anakan masih kecil. Setelah pohon cukup kuat bersaing dengan tanaman lain biasanya dibiarkan begitu saja tanpa perawatan dan pemeliharaan.














Meskipun dilaporkan bahwa pohon matoa kadang-kadang menunjukkan suatu bentuk morfologis yang aneh seperti sapu terbang yang disebabkan oleh jamur atau virus, dan adanya serangan jamur yang belum dikenal yang menyebabkan bintil putih, dalam pengamatan di Manokwari maupun Jayapura tidak dijumpai adanya pohon yang mengalami serangan penyakit. Di semenanjung Malaya ada gangguan terhadap buahnya oleh ngengat Conopomorpha cramerella (Gracillariadae). Hasil pengamatan diperoleh bahwa beberapa pohon matoa daunnya diserang ulat, tetapi kerusakan yang diakibatkannya tidak terlalu besar. Beberapa pohon buahnya diserang ulat yang menyerang buah dan bijinya. Buah yang diserang ulat membusuk dan jatuh. Hama yang paling merugikan adalah kelelawar yang menyerang buah yang sudah masak, terutama bila masa berbuahnya tidak serempak atau tidak banyak pohon yang berbuah. Pada tanah berpasir yang kemampuan menahan airnya rendah pohon matoa yang tumbuh tidak subur, tajuknya tipis tidak teratur dan tepi daunnya mengering seperti gejala klorosis.
Kondisi tersebut menunjukkan kemudahan aspek silvikultur/budidaya matoa sehingga tidak menuntut perlakuan khusus untuk pertumbuhan dan produksinya. Dikarenakan buah matoa berada di ujung-ujung ranting, pemangkasan terkendali akan mengatur tinggi pohon dan meningkatkan jumlah ranting pohon sehingga akan meningkatkan produksi buah matoa dan memudahkan pemanenannya. Penggunaan bahan tanaman vegetatif (cangkokan) dengan jarak tanam yang ideal akan mempercepat masa produksi pohon dengan kualitas buah identik dengan induknya. Peningkatan keharaan tanah melalui pemanfaatan seresah pohon sebagai pupuk organik akan memperbaiki pertumbuhan dan produktifitas pohon yang ditanam.
4.5. Nilai Ekonomi Pohon Matoa
Secara tradisional masyarakat Papua mengenal dua jenis matoa untuk membedakan dan menentukan harga jualnya, yaitu matoa kelapa dan matoa papeda. Matoa kelapa merupakan matoa yang paling disukai dan memiliki harga yang mahal karena ukuran buahnya yang besar, rasanya manis dan daging buahnya tebal. Sebaliknya matoa papeda, disebut demikian karena daging buahnya tipis, lembek, berair, dan tidak terlalu manis, harganya tidak terlalu mahal. Pemasaran buah matoa dilakukan secara sederhana di pasar maupun di tempat-tempat penjualan buah musiman oleh pemilik pohon sendiri atau oleh pedagang yang membeli dan mengumpulkan buah dari pemilik pohon matoa. Harga jual buah matoa, sebagaimana buah musiman yang lain, berfluktuasi sesuai dengan ketersediannya. Namun dari tahun ke tahun harga buah matoa cenderung meningkat, dan saat ini berkisar antara Rp. 15. 000 – Rp. 30.000/kg untuk matoa papeda, dan Rp 50.000 – Rp. 75.000 per kg untuk matoa kelapa. Dengan produksi buah per pohon berkisar antara 100 – 200 kg, dan harga rata-rata di tingkat petani Rp. 10.000 – Rp. 50.000/kg, setidaknya petani pemilik pohon akan memperoleh Rp. 1.000.000 – Rp. 10.000.000/pohon/masa panen, tergantung umur pohon, produktivitas buah, dan harga buahnya.















Selain buahnya, beberapa bagian pohon matoa sangat potensial dikembangkan untuk berbagai manfaat. Dengan teknik pengolahan sederhana (dijadikan bubur) biji matoa dapat dijadikan sebagai bahan makanan. Kayunya tidak sekuat dan seawet spesies pometia yang lain, umumnya dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi ringan. Petani peladang di PNG mengumpulkan dan menggunakan seresah daun matoa sebagai mulsa untuk mempertahankan kesuburan ladang mereka. Air hasil rebusan kulit batang atau daunnya dapat dimanfaatkan sebagai obat demam dan keletihan. Kulit batang matoa diketahui mampu menyembuhkan luka bernanah. Diduga kulit matoa mengandung senyawa penghambat pertumbuhan bakteri.
Dengan berbagai manfaat yang dapat diambil dari pohon matoa tersebut pohon matoa mempunyai nilai sosial yang cukup tinggi bagi masyarakat Papua, terutama di Jayapura. Hal ini terlihat dari kebanggaan masyarakat atas pohon matoa yang dimilikinya. Kebanggaan masyarakat atas pohon matoa yang dipandang sebagai jenis buah lokal andalan merupakan modal sosial yang akan sangat menunjang pengembangan matoa sebagai buah unggulan di Papua. Dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi, kemudahan budidaya, dan adanya kebanggaan masyarakat atas pohon matoa, jenis ini sangat potensial untuk dikembangkan sebagai buah unggulan lokal.

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pohon matoa mempunyai range ekologi yang cukup luas dengan perlakuan silvikultur yang tidak sulit untuk menumbuhkannya
2. Variasi karakter fenotif batang, kulit batang, dan daun matoa tidak berhubungan dengan tipe buah yang dihasilkan
3. Keragaman matoa terutama terekspresi pada keragaman buahnya, baik ukuran, warna, ketebalan daging, dan rasa daging buah.
4. Matoa sangat potensial untuk dikembangkan sebagai buah lokal Papua dengan sumbangan yang cukup besar terhadap pendapatan pemiliknya
5.2. Saran
1. Perlu dilakukan pengujian keeratan genetis matoa yang secara fenotipik beragam
2. Perlu dilakukan seleksi dan pengamanan terhadap jenis-jenis matoa yang secara fenotipik menampilkan karakter unggul sebagai sumber genetik untuk pengembangan matoa
3. Perlu dilakukan pengujian perlakuan silvikultural yang mampu mengatur masa berbuah pohon untuk mengendalikan fluktuasi harga dan ketersediaan matoa di pasar

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2008. Matoa (Pometia pinnata J.R. & G. Forst.) http://www. plantamor.com (24 Maret 2009)
2008. Pometia pinnata J.R. & G. Forst. http://www.warintek.ristek. go.id/pangan_kesehatan/tanaman_obat/depkes/3-114.pdf. (24 Maret 2009)
Barbour, Michael G., Burk, Jack H., Pitts, Wanna D., 1980. Terrestrial Plant Ecology. Benjamin/Cimmings Publishing Company. California.
Dinas Kehutanan DATI I Propinsi Irian Jaya. 1976. Mengenal Beberapa Jenis Kayu Irian Jaya Jilid I. Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I Irian Jaya. Jayapura.
Mulyaningsih, E.S; Rahmawati, S; Soetisna, U. 1995. Penelitian Teknologi Konservasi Plasma Nutfah; Upaya Konservasi Benih Rekalsitran Matoa (Pometia pinnata) dan Rambutan (Nephelium lappaceum). http://digilib.biologi.lipi.go.id (5 Februari 2009)
Nurmiaty, Y. 2006. Pengaruh Perlakuan Dormansi Sekunder dengan PEG – 6000 untuk Memperbaiki Daya Simpan Benih Rekalsitran (Studi pada Matoa). Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Praptiwi; Harapini, M. 2004. Uji Antibakteri Fraksi Sederhana dari Ekstrak Etil Asetat Kulit Batang Matoa (Pometia pinnata J.R & G. Forst.). http://digilib.biologi.lipi.go.id (5 Februari 2009)
Soekanto, Soerjono, 1984. Teori Sosiologi Tentang Pribadi Dalam Masyarakat. Ghalia Indonesia Jakarta.
Taneko, Soleman, 2002, 1984. Struktur dan Proses Sosial. Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan. Rajawali Press Jakarta.
Sumiasri; Kuswara, T., Setyowati-Indarto, N. 2008. Pemanfaatan Matoa (Pometia pinnata Frost.) di Beberapa Daerah di Irian Jaya. http://digilib.biologi.lipi.go.id (4 Maret 2009)
Sudarmono. 2001. Matoa (Pometia pinnata Forst & Forst) : Keragaman Jenis dan Potensi. Prosiding Seminar Sehari Menggali Potensi dan Meningkatkan Prospek Tanaman Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan. LIPI

1 comment:

  1. Bravo !!! Kembangkan buah lokal supaya bisa meraja di negeri sendiri maupun sebagai komoditas ekspor. Saya sangat menghargai penelitian anda, teruskan ya dik

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...